Seorang pemuda
yang penuh gairah untuk mendapatkan penyadaran spiritual, tetapi liarnya minta
ampun sehingga dijuluki Sie Cah Mbeling, curhat kepada Sie Koeng Gembloeng,
sosok berpenampilan bersahaja dan bernalar tidak umum.
“Saya sudah
setahun belakangan ini sangat rajin bermeditasi. Sudah banyak yang saya dapatkan dari praktik
meditasi saya. Pembawaan saya yang dulu
emosional, sekarang menjadi lebih kalem.
Saya tidak lagi gampang marah dan meledak. Namun, ada satu perkara.....saat sendiri,
saya teringat perilaku saya di masa lalu.
Dan saya sadar, perilaku saya di masa lalu itu buruk sekali. Saya telah banyak berbuat dosa Koeng...dan
saya benar-benar menyesal telah melakukan itu semua. Rasa sesal ini yang membuat saya
tersiksa. Seandainya saya bisa memutar
waktu, saya pasti tak akan melakukan apa yang dulu saya lakukan.”
Sie Koeng
Gembloeng, malah balik bertanya, “Hmmm...terus, ke depannya, kamu akan biarkan
dirimu terus menyimpan sumber derita itu atau kamu mau memerdekakan dirimu
darinya?”
Sie Cah
Mbeling terhenyak. Ia tak mengerti apa
arti perkataan Sie Koeng Gembloeng. Maka
Sie Koeng Gembloeng berkata, “Kenyataannya dengan mengingat-ingat masa lalu,
kamu malah tersiksa, menderita. Nah,
kamu mau terus terpenjara oleh ingatanmu itu, atau kamu mau membuat dirimu
terbebas darinya
Sie
Cah Mbeling menegaskan hasrat hatinya, “Saya datang ke sini karena saya ingin
mendapatkan solusi. Tentu saja, saya tak
nyaman dengan apa yang saya alami saat ini.”
Sie
Koeng Gembloeng sembari tersenyum, melanjutkan petuahnya, “Ketidaknyamananmu,
penderitaanmu, sebenarnya berakar pada pola nalarmu dan konsep yang kamu
pegang. Jadi, untuk dapat solusi
sebenarnya ya gampang...tinggal mengubah pola nalarmu dan meninggalkan konsep
yang membuat hidupmu jadi ruwet.”
Sie Cah
Mbeling kembali bertanya, “Hmm.....apakah segampang itu
Sie
Koeng Gembloeng membalikkan pertanyaan itu, “Lha
mau dibuat gampang atau dibuat susah?”
Sie
Cah Mbeling tak bisa untuk tidak tertawa, lalu menjawab, “He, he, he,
he......Koeng ini malah membuat saya bingung.”
“Lho
kok malah bingung...ha, ha, ha, ha, ha,” Sie Koeng Gembloeng memberi tanggapan sambil
tertawa.
“Apa
yang harus saya lakukan Koeng? Saya
harus mulai dari mana untuk bisa mengatasi masalah ini?” tanya Sie Cah Mbeling
sambil mengubah posisi duduknya mengajukan pertanyaan lanjutan.
Sambil
tersenyum jenaka Sie Koeng Gembloeng menjawab, “Kan gampang tho, kunci
dari penyelesaian masalahmu adalah dengan tidak menyesal.”
Sie
Cah Mbeling penasaran hanya mendapatkan jawaban seperti itu, sehingga ia
kembali bertanya, “Koeng, bagaimana mungkin saya tidak menyesal? Perilaku saya buruk banget lho Koeng...”
Sie
Koeng Gembloeng dengan wajah yang tetap dihiasi senyum menanggapi, “Sekarang
begini, apa gunanya menyesal? Lalu,
apakah kamu juga masih melakukan perbuatan burukmu itu sekarang?”
Sie
Cah Mbeling diam sejenak mendengar pertanyaan balik dari Sie Koeng
Gembloeng. Lalu ia berkata,
“Hmmmm...saya sendiri tidak tahu apa gunanya penyesalan. Mungkin dengan begitu, Tuhan akan mengampuni
dosa-dosa saya. Yang pasti penyesalan
itu mendatangkan ketidaknyamanan di dalam diri saya. Dan sebenarnya, saya juga sudah tidak lagi
melakukan perbuatan buruk seperti masa lalu.”
Sie
Koeng Gembloeng kemudian memaparkan dengan tenang, “Nak....kita diberi nalar
itu ya untuk dipergunakan. Jika memang
kamu tidak menemukan kegunaan dari penyesalan, lalu untuk apa itu kamu
pelihara? Kenapa kamu biarkan dirimu
terpenjara oleh rasa sesal?”
Kan
sudah aku bilang, tidak perlu menyesal!
Tuhan tidak membutuhkan penyesalanmu.
Jika kamu sudah berkomitmen mengubah perilakumu yang kamu anggap buruk
itu, dan kamu menjalankan komitmenmu, ya sudah.
Dia tak akan mengingat-ingatnya.
Rugi amat, menuh-menuhin tempat.
Lagi pula kamu mau jungkir balik, nyemplung jurang, tak akan membuat
Tuhan marah, sedih, galau dan sebagainya.
Ha, ha, ha, ha.
Begini
Nak, Tuhan itu memang keberadaan yang sulit dijelaskan dan diberi
definisi. Menyosokkan Tuhan juga
sebetulnya tidak tepat. Tetapi, kita
memerlukan sebuah pendekatan untuk mengerti Tuhan, yang bisa membuat hidup
terasa mengasyikkan. Mereka yang
mengerti Tuhan sebagaimana adanya, akan hidup penuh suka cita.”
Sejenak
Sie Koeng Gembloeng berhenti berkata-kata.
Ia mengambil cangkir white cofee-nya lalu menyeruputnya perlahan-lahan. Usai demikian baru ia melanjutkan paparannya,
“Cobalah mencermati hidupmu sendiri, rasakan aliran nafasmu yang keluar masuk
melalui hidung, kamu akan tahu bahwa ada keindahan yang menunggu untuk disadari
keberadaannya. Kehidupan ini berasal
dari realitas yang maha indah, penuh kasih.
Karena itulah kemudian orang menyebut Tuhan sebagai Yang Maha
Pengasih. Tuhan adalah Kasih Murni,
Kasih Absolut, Kasih yang tak terbatas.
Diri kita di hadapan-Nya, laksana seorang anak kesayangan di hadapan
seorang Bapa yang penuh kasih.
Apapun
kekeliruan langkah yang telah kita buat, tak akan mengurangi kasih-Nya. Tak ada dendam dan benci dari-Nya. Maka, siapapun yang telah berbuat keliru dan
kembali pada tuntunan-Nya, tak akan pernah ada penolakan dari-Nya. Dia adalah Bapa yang selalu menerima
anak-anak tersayang yang membutuhkan rengkuhan dan perlindungan-Nya, setelah
berjalan ke sana kemari tak tentu arah dan hanya menemukan penderitaan..
Sie
Cah Mbeling kembali bertanya karena belum mengerti, “Maksud Koeng, perbuatan
buruk yang saya lakukan di masa lalu, sebenarnya tidak membuat Tuhan marah dan
membenci saya?”
Sie
Koeng Gembloeng tertawa lepas, lalu kembali memaparkan, “Ha, ha, ha, ha, benci
dan marah tidak mungkin bersatu dalam Kasih Murni. Yang ada dalam kehidupan ini adalah jaringan
sebab akibat. Setiap tindakan membuahkan
konsekuensi logis tertentu. Perbuatan
yang menurutmu buruk itu, memang menggangu harmoni semesta dan membuahkan duka
bagi dirimu dan orang-orang di sekitarmu. Tapi tidak akan membuat Tuhan susah
dan marah. Jika kamu teruskan, duka yang kamu rasakan akan semakin dalam. Karena itu, karena Kasih-Nya, Dia memberimu
pesan lewat berbagai saluran agar kamu mengubah perilakumu. Nah, begitu kamu menangkap pesan itu, lalu
kamu memperbaiki perilakumu dan memperbaharui hidupmu, ya sudah,
semua selesai. Kasus ditutup, tidak
diingat-ingat lagi.”
Sie
Cah Mbeling agak terhenyak oleh paparan Sie Koeng Gembloeng. Tapi ia mengakui kebenaran dalam kata-kata
Sie Koeng Gembloeng. Iapun berkata
perlahan, “Hmmm.....jadi bodoh sekali ya Koeng, saya malah repot
mengingat-ingat masa silam dan tenggelam dalam penyesalan.”
Sie
Koeng Gembloeng menanggapi sambil tertawa kembali, “Ya memang bodoh...ha, ha,
ha, ha. Penyesalan sama sekali tidak
diperlukan. Yang berguna untukmu pada
saat ini adalah bersikap lebih waspada, dan sebisa mungkin berbuat sesuatu yang
membawa pada harmoni, tidak merugikan dirimu maupun orang lain.”
Sie
Cah Mbeling menukas, “Hmmm..sebentar Koeng.
Bukannya perilaku saya yang buruk itu akan dicatat sebagai dosa dan
harus saya pertanggungjawabkan nanti di hari pengadilan setelah saya meninggal
dunia?”
Sie
Koeng Gembloeng balik bertanya, “Hmmmm...bukankah kamu sudah menanggung resiko
logis dari perilakumu di masa lalu itu?
Itulah bentuk pertanggungjawabanmu yang nyata. Dan kamu sudah melakukan pertaubatan. Lalu kenapa kamu takut?”
Sie
Cah Mbeling mengungkapkan pengertiannya, “Ya..ya..ya, jadi, jika sekarang saya
sudah menghentikan perilaku saya dan memperbaharui hidup saya, saya tak akan diadili saat saya
meninggal dunia?”
Sie
Koeng Gembloeng kembali tertawa dan melanjutkan penjelasannya, “Ha, ha, ha,
bukankah sudah saya katakan bahwa Tuhan itu bukan pendendam? Begini Widodo, manusia itu bisa berlaku
laksana anak kecil yang bermain-main di sembarang tempat hingga penuh
lumpur. Nah, jika ia kembali pulang ke
rumah, kembali kepada Sang Bapa yang pengasih, Sang Bapa itu akan menyambutnya
penuh kasih, membersihkan dirinya, dan si anak akan bersih kembali dan siap
untuk menjalani hidup baru. Kasus lama
ditutup, selesai.”
Sie
Cah Mbeling sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal berkata,
“Oooooo..........jadi, seburuk apapun perilaku saya di masa lalu jika itu sudah
saya tinggalkan, dan saya menggantinya dengan perilaku yang baik, saya tidak
perlu mengkhawatirkan apapun?”
Sie
Koeng Gembloeng menanggapi dengan lugas, “Ya, tepat. Jangan takut, jangan khawatir, bersuka
citalah!”
(Dicuplik dari buku Formula Hidup Bejo, karya P.B. Susetyo dan S.H. Dewantoro, terbitan Penerbit Lakutama)
Post a Comment