Laku spiritual yang tepat, niscaya membawa kejernihan pada nalar, rasa, dan tatanan energi pribadi sehingga realitas kehidupan sebagaimana adanya
terungkapkan dan bisa dimengerti. Termasuk yang menjadi bisa dimengerti adalah keberadaan Tuhan. Itu tidak lagi menjadi
sebatas konsepsi, tetapi menjadi realitas yang dialami.
Tindakan praktis yang membawa kepada keadaan
ini adalah memberi perhatian penuh dan mengarahkan penglihatan ke titik yang disebut susuhing angin di belakang ulu hati. Siapapun yang
melakukan tindakan ini, pada dasarnya tengah meniti sebuah perjalanan spiritual
menembus lapisan-lapisan langit guna menyaksikan realitas tertinggi. Tetapi lapisan-lapisan langit ini ada di dalam
diri. Ini adalah simbolisasi dari
lapisan-lapisan tubuh pada diri manusia, yang bermula dari tubuh fisik dan
berujung pada inti dan sumber hidup manusia.
Tujuan tindakan ini
adalah untuk bisa mengerti tentang Tuhan apa adanya. Juga agar bisa menangkap pesan atau tuntunan
Tuhan yang memang senantiasa disampaikan kepada manusia, melalui getar paling
murni dari telenging manah yang dinamakan sebagai Net. Inilah sebuah tindakan untuk mencapai fondasi
dari kesempurnaan hidup. Pengertian yang
tepat terhadap Tuhan, juga penangkapan yang jernih terhadap segenap pesan-Nya,
adalah prasyarat pertama agar manusia bisa menjalani kehidupan serba selaras
dan menunaikan tugas kehidupan sesuai rancangan-Nya.
Para pembaca blog ini, tentu saja perlu melakukan tindakan ini agar bisa menangkap uraian selanjutnya
sebagai pengalaman yang juga dialami, bukan sekadar sebagai cerita atau
konsepsi. Lakukan saja tak perlu
memikirkan apapun, termasuk kelayakan diri.
Ini adalah perkara natural, yang sewajarnya dilakukan manusia. Mengerti Tuhan apa adanya dan bisa menangkap
pesan-Nya, adalah perkara yang wajar bagi seluruh manusia tanpa kecuali.
Rasakan hambegan yang
natural. Ucapkan Hong perlahan-lahan
dengan intonasi rendah. Rasakan getaran di telenging manah. Bawa penglihatan ke titik itu. Lalu dalam kondisi raga yang diam dan suasana
jiwa yang relaks, cermati apapun yang ditemui.
Dan jangan berhenti ketika melihat sesuatu, apapun itu. Teruslah berjalan menembus lapis demi lapis
keberadaan di dalam diri sendiri.
Inilah yang
disimbolkan dalam cerita pewayangan dengan perjalanan Sang Bima yang menemui
Dewa Ruci. Siapapun melakukan ini,
niscaya bertemu dengan Sang Dewa Ruci di dalam dirinya. Dan siapapun yang terus berjalan, memasuki
realitas Sang Dewa Ruci itu, niscaya bertemu dengan ujung perjalanan: sebuah
realitas yang menjadi permulaan dan sumber kehidupan.
Kegelapan
Murni
Niscaya setiap orang
pada ujung perjalanan menemukan kegelapan murni, keadaan dimana tak ada apa-apa
lagi, dan yang tak dapat diasosiasikan dengan apapun karena tak ada sebuah
gatrapun yang menyerupainya. Segenap
gatra yang terlihat, niscaya memiliki batasan, menempati ruang dan waktu
tertentu. Dan itu pasti bukan Tuhan yang
menjadi sumber segala-galanya. Hanya
kegelapan murni yang tanpa batas dan meliputi segala keberadaan.
Realitas pamungkas
yang ditemui pada perjalanan ke dalam diri ini, justru tanpa batasan, tanpa
gatra. Itulah Tuhan, yang menjadi inti
dari segenap keberadaan, sekaligus yang meliputi keberadaan itu. Para leluhur Jawa di masa silam menjuluki
realitas ini sebagai Gusti, karena darinya muncul segenap keluhuran di hati
manusia. Realitas ini juga dijuluki YaHu
atau Yaktining Hurip, karena memang realitas inilah kehidupan sesungguhnya: semua
yang ada dan hidup, memang bermula dari-Nya, dan diliputi oleh-Nya.
Realitas inilah yang
menjadi sumber dari dark energy, yang dalam sains dinyatakan bertanggung jawab
terhadap ekspansi semesta dan pembentukan segenap benda dan gatra yang bisa
diketahui di semesta ini. Realitas ini
bukan sosok, sekalipun bisa saja darinya muncul visualisasi sosok, sebuah hologram,
yang membantu manusia untuk bisa menangkap pesan dan pengetahuan dari-Nya.
Selanjutnya, niscaya
juga bisa dimengerti bahwa realitas yang
bisa dijuluki sebagai Gusti ataupun YaHu ini, bersenyawa sepenuhnya dengan
manusia. Pada tataran keberadaan, tak
ada batasan antara Gusti atau YaHu dengan manusia. Inilah pengertian jumbuhnya kawula dengan
Gusti. Gustilah yang menjadi inti hidup
manusia, memenuhi segenap keberadaan manusia, dan meliputinya.
Sebagai realitas yang
bukan sosok, bukan pribadi, tak ada di sana emosi dan kepentingan laksana
manusia. Bagi-Nya tak ada pemihakan, tak
ada musuh dan sekutu, tak ada benci dan suka.
Yang nyata ada adalah bahwa Dia menghidupi semuanya, dan semua yang
dihidupi atau dijadikan oleh-Nya terikat pada sistem kausalitas yang teramat
rumit namun terjamin kepastian dan keakuratannya. Jikapun ada karakter yang layak dilabelkan
kepada Realitas ini, itu adalah Kasih Murni: Kasih yang selalu mengalir,
membawa kehidupan dan keindahan.
Bahkan terkait dengan
keberadaan manusia atau titah urip lainnya yang memiliki free will sehingga
mungkin mengalami kekeliruan, kejatuhan dan penderitaan, selalu ada solusi
dari-Nya. Kasih-Nya memulihkan siapapun
yang terlanjur melukai dirinya sendiri dengan tindakan yang tidak tepat. Dan tentu saja, pemulihan ini berjalan
melalui proses yang bertahap dan bertumbuh.
Ini merupakan bagian dari sistem pengaturan kosmik yang mengikat semua
keberadaan.
Tangga
Dasar
Penyaksian akan
realitas kegelapan murni yang menjadi sumber segala keberadaan, pengertian yang
akurat mengenai Tuhan, ataupun penyadaran akan jumbuhnya manusia dengan Gusti, bukanlah
tujuan puncak dari perjalanan hidup manusia di Planet Bumi. Justru ini adalah tangga dasar yang perlu
dicapai, agar manusia bisa mengerti apa tujuan hidupnya dan punya daya untuk
menggatrakan tujuan itu.
Puncak perjalanan
masuk ke dalam diri ini perlu dituntaskan, agar kemudian manusia bisa menangkap
pesan atau tuntunan sebagai pedoman menjalani kehidupan hingga tercapainya
ketuntasan dan kesempurnaan perjalanan di Planet Bumi ini. Siapapun yang telah mengalami keadaan ini,
niscaya telah terhubung dengan rasa sejati.
Dan melalui perangkat inilah, pesan dari Realitas Tanpa Batas yang
dijuluki di Jawa sebagai Gusti atau Yaktining Hurip, bisa ditangkap dan
dimengerti.
Peristiwa sebagaimana
digambarkan di atas, niscaya menjadi dasar perubahan hidup seseorang menuju
kepada keselarasan dan kecemerlangan sesuai cetak birunya.
Post a Comment