Sebagian orang, bisa jadi merasakan hidup sebagai
rangkaian penderitaan. Kebahagiaan
memang menjadi harapan utama dan bisa jadi sering dibicarakan. Tapi kenyataannya, bagi sebagian orang yang dominan mewarnai
hidup adalah rasa susah, nelangsa, menderita.
Penderitaan ini bisa muncul karena berbagai
faktor. Di antaranya adalah kekurangan
uang, adanya penyakit, konflik rumah tangga, karier yang terhambat bahkan
runtuh. Ada kalanya, orang tetap
menderita walau secara kongkrit tak persoalan berat yang muncul dalam
kehidupannya. Sebagai contoh, seseorang
menderita karena ketakutan situasi buruk di masa depan. Padahal itu belum tentu terjadi. Bisa juga seseorang menderita karena bosan
menjalani hidup yang tidak dinamis.
Semua serba ada, keadaan hidupnya serba aman, dan ia bosan karena itu.
Laku spiritual yang jernih, membawa manusia pada penyadaran
tertentu yang tumbuhnya rasa sukacita walau menghadapi keadaan yang tidak
seperti harapan, keadaan yang bisa dikategorikan sebagai “sulit” dan “membawa
derita”. Rasa sukacita ini berpangkal
pada kesanggupan meresapi atau menikmati semua kesulitan dan derita.
Kunci Kebahagiaan
Kebahagiaan dalam kondisi apapun, bisa terjadi,
pertama-tama, oleh tumbuhnya kesadaran bahwa seberat apapun sebuah penderitaan,
itu bukan keadaan yang langgeng. Pasti
bisa selesai pada waktunya. Kedua,
penderitaan itu bisa menjadi bukan penderitaan lagi ketika seseorang bisa
berdamai dengannya, menerimanya apa adanya, bahkan meresapinya. Sakit yang disangkal dan diberontak, berbeda
rasanya dengan sakit yang diterima adanya dan diresapi.
Di samping itu, kebahagian juga bisa muncul lebih
konstan, berkelanjutan, manakala seseorang menyadari sepenuhnya apa yang
sebenarnya terjadi pada raga ketika seseorang bahagia, atau sebaliknya, menderita
baik karena rasa takut, sedih, marah dan semacamnya.
Sesungguhnya, perkara kebahagiaan dan penderitaan ini
adalah perkara dinamika hormonal di dalam tubuh. Kebahagiaan dan penderitaan bisa muncul
karena ada perangkat di dalam tubuh manusia yang memang berhubungan dengan itu.
Perangkat ini semuanya terkait dengan keberadaan otak manusia. Karena antara raga dan jiwa pada manusia
jumbuh, maka apa yang terjadi pada raga manusia, berpengaruh pada jiwanya. Sekalipun kulit yang terluka, tetap yang merasakan
sakit adalah jiwa manusia, sang aku atau sang hulun. Demikian pula, kerja kelenjar yang
menghasilkan hormon penyebab perasaan atau emosi tertentu, juga sang jiwa atau
hulun yang merasakannya. Bahkan perasaan
atau emosi ini, bisa terekam pada jiwa (yang memiliki badan halus
berlapis-lapis) sehingga jika tidak dimurnikan atau dijernihkan selama masa
kehidupan di muka bumi ini, jiwa tetap bisa merasakannya tatkala telah berpisah
dengan raga.
Rasa sakit dan senang pada tataran fisik, muncul
karena keberadaan sensor perasa yang bersemayam di berbagai lapisan kulit dan
dikendalikan dari otak. Sementara
perangkat yang bertanggung jawab terhadap rasa pada tataran jiwa, yaitu emosi
atau perasaan, dinamakan sistem limbik, dan di dalam sistem limbik ini di antaranya
terdapat hipotalamus, amigdala dan hipokampus.
Kecanggihan Perangkat Manusia
Kecanggihan Perangkat Manusia
Untuk mengerti perkara ini, tepat jika kita menyadari
bahwa manusia memang dirancang demikian canggih, dengan perangkat yang
membuatnya bisa melakukan berbagai perkara yang banyak titah urip lain tak bisa
melakukannya. Dan ini terkait erat
dengan ketetapan manusia untuk memiliki free
will.
Jelasnya, manusia diberi perangkat untuk bisa
merasakan sakit, marah, takut, menderita, sesungguhnya terkait dengan
kelestarian hidup dan penunaian perannya di Planet Bumi. Manusia yang tidak punya rasa sakit, takut
dan menderita, karena punya free will,
tentunya bisa sangat mudah menghancurkan dirinya sendiri, atau dengan sukarela
membiarkan dirinya dihancurkan pihak lain.
Contoh sederhana dan terkesan konyol, tapi ini realistis. Jika manusia
tak punya rasa sakit atau takut, bisa saja ia dengan santai memotong tangan
atau kepalanya sendiri. Ia juga bisa
jadi tak akan menghindar ketika ada anjing yang menggigit tubuhnya. Atau juga ia akan diam, manakala seseorang
membakar tubuhnya hingga hangus padahal ia bisa berlari menghindar. Tiadanya rasa sakit, membuat seseorang tidak
punya motif mempertahankan keutuhan tubuh dan kelestarian hidupnya.
Semesta telah merancang, berbagai rasa ini baik pada
tataran fisik maupun emosi ini memiliki pasangan di sisi yang berlawanan. Kesanggupan manusia dalam merasakan sakit,
susah, menderita, membuatnya sanggup merasakan enak, senang dan bahagia. Ini laksana dua sisi mata uang. Perangkatnya
sama, tapi bisa memunculkan wajah berbeda.
Karena keberadaan berbagai emosi inilah manusia
tergerak untuk membangun peradaban, yang motif dasarnya sebenarnya adalah
mencapai kenyamanan dan kebahagiaan serta menghindar dari kesusahaan dan
penderitaan.
Selanjutnya, perlu dimengerti berbaga perangkat di
dalam sistem limbik, bekerja berdasarkan penalaran atau persepsi. Perasaan tertentu bisa muncul akibat respon
dari otak terhadap situasi dan kondisi yang dihadapi. Persepsi dan penalaran ini yang memerintahkan
bekerjanya kelenjar-kelenjar penghasil hormon yang bertanggung jawab terhadap
kemunculan emosi.
Sebagai contoh, seseorang yang mendengar kata “anjing”
ketika sedang berjalan melintasi sebuah gang, bisa marah dan sakit hati karena
mempersepsi itu adalah ucapan penghinaan untuknya. Seseorang juga bisa sakit luar biasa di ulu
hati, orang menamakannya patah hati, ketika ditinggal orang yang dicintainya.
Tetapi peristiwa atau situasi dan kondisi yang sama,
ketika direspon dengan berbeda, niscaya menghasilkan emosi yang berbeda. Nah, penyadaran dan penjernihan diri melalui
keterhubungan dengan rasa sejati, membantu manusia memiliki pola nalar yang
membuat perangkat di dalam otaknya tidak bekerja menghasilkan hormon yang
membawa rasa susah, sakit dan menderita.
Namun sebaliknya malah bekerja menghasilkan hormon yang memunculkan rasa
tenang, senang dan bahagia. Maka,
seseorang yang terhubung intensif dengan rasa sejatinya, ketika dimaki-maki
seseorang dengan kata “anjing”, bisa jadi tetap tersenyum dalam ketenangan dan
kesukacitaan. Demikian juga, orang bisa
dengan mudah memulihkan hati yang patah lewat penyadaran dan persepsi yang
konstruktif: bahwa ditinggalkan orang yang dicintai tidak membuat hidup
seseorang jadi tidak sempurna. Memang
orang yang dicintai itu bukan jatahnya, dan di tempat lain menunggu sosok yang
lebih membawa keselarasan untuknya.
Ketika seorang ayah atau ibu menghadapi anak yang bisa
dinilai “bandel” pun selalu punya dua kemungkinan perasaan: tenang atau
gelisah. Jika ia menganggap kebandelan
itu sebagai kewajaran dan proses yang perlu dijalani sang anak, dan pasti
tuntas pada masanya, tentunya ia akan tetap tenang. Sebaliknya jika ia menganggap kebandelan sang
anak sebagai tanda ketidakmampuannya dalam mendidik, sebagai kutukan Tuhan
kepadanya, dan persepsi sejenis, ia pasti gelisah.
Laku Sederhana Menuju Bahagia
Laku Sederhana Menuju Bahagia
Seseorang yang dalam kesehariannya sibuk dengan
menyadari hambegan, fokus pada masa kini, tidak terjebak pada memori masa silam
maupun bayangan masa depan, bisa mengecap kebahagiaan yang stabil. Mengapa?
Karena ia tidak akan menghasilkan hormon penyebab rasa takut, gelisah,
sudah dan menderita. Sebaliknya hormon
yang muncul pada tubuhnya adalah yang menyebabkan ketenangan, kedamaian,
kesukacitaan dan kebahagiaan.
Mereka yang terhubung dengan rasa sejatinya, tidak
akan keliru dalam membaca realitas dan membuat asumsi-asumsi yang memunculkan
penderitaan yang sebetulnya tidak mesti muncul.
Tetapi, mereka juga bisa mengerti secara tepat jika ada bahaya yang
mengancam keutuhan tubuh dan kelestarian hidupnya, sehingga niscaya menghindar.
Keterhubungan dengan rasa sejati, juga membuat daya
pembasuh luka emosi mengalir dari pusat hatinya. Benci, marah, kecewa, dan berbagai emosi
lainnya bisa saja menumpuk di dalam memori manusia, baik yang disadari maupun
tidak. Ini bisa menjadi beban yang
membuat manusia sulit hidup penuh sukacita dan bahagia. Nah, daya dari pusat hati mengurai memori ini
dan membersihkan beban-beban emosi yang mengganggu.
Begitulah, hidup sukacita dan bahagia sesungguhnya
berkaitan erat dengan penyadaran yang mencegah timbulnya penderitaan, dan
keterhubungan dengan sumber energi kosmik yang bisa menyembuhkan luka jiwa.
Kita tak perlu memberontak terhadap realitas bahwa
manusia memang dianugerahi perangkat yang membuatnya bisa merasakan
penderitaan. Toh, ada formula untuk
membuat penderitaan ini bisa dihindari, dan justru membuat manusia bisa
merasakan kesukacitaan dan kebahagiaan dalam berbagai keadaan.
Post a Comment