Para pelaku spiritual yang jernih, niscaya bisa mengerti bahwa setiap pribadi merupakan pengejawantahan dari Gusti Yaktining Hurip. Bahkan bisa dinyatakan, manusia merupakan
pengejawantahan paling utuh dan sempurna.
Kesempurnaan ini karena keberadaan manusia laksana jagad raya itu
sendiri. Sehingga kemudian manusia
dinyatakan sebagai jagad alit, mikrokosmos: minatur dari jagad raya.
Sebagaimana
pada jagad raya, ada lapisan-lapisan keberadaan pada diri manusia, mulai dari
yang paling kasar dan pejal, hingga yang teramat halus dan tak terlihat. Pada jagad raya, lapisan paling inti adalah
kegelapan murni yang tak bergatra dan tak terlihat. Demikianpula pada diri manusia. Sejatinya lapisan ini bukanlah sosok atau
pribadi. Tetapi, ia juga bisa mempribadi
sekalipun tetap tak terlihat. Ia
mempribadi dalam pengertian menunjukkan keberadaan-Nya sebagai Yang Maha
Berkehendak, Maha Menuntun, Maha Mengarahkan.
Realitas Tanpa Batas yang mempribadi di dalam diri manusia inilah yang
dinyatakan sebagai Hingsun.
Untuk
mengerti tentang Hingsun, kita perlu mundur ke belakang dengan mengurai
terdahulu proses kejadian manusia.
Permulaan kejadian manusia adalah pertemuan antara
sperma dan sel telur yang bermuara pada pembuahan. Ini terjadi baik melalui
persetubuhan antara laki-laki dan perempuan, maupun melalui jalan lainnya
seperti melalui teknologi bayi tabung.
Setelah pembuahan sempurna, terbentuklah janin
atau jabang bayi. Janin atau jabang bayi
ini memiliki nyawa sekaligus membentuk kepribadian sendiri yang berbeda denga
orang tuanya, termasuk ibunya. Dan
kepribadian tersendiri inilah yang disebut hulun. Selama di dalam kandungan, berbagai perangkat
dari hulun atau sang aku ini, disiapkan secara bertahap hingga mencapai titik
kesempurnaan.
Lalu, ketika bayi dilahirkan dan mulai menghirup
udara, masuk dan bersenyawalah di dalam raga bayi itu pengejawantahan dari
Gusti yang bernama Hingsun (Aku Sejati) dengan 4 kuasa yang mengiringinya (dalam
manuskirp Gunung Klothok, 4 kuasa ini dijuluki sebagai para ngabida: Notodoko,
Torogono, Gokonongodo dan Gonodoko).[1] Hingsun kemudian bersingasana di telenging
manah manusia, dan 4 kuasa Gusti yang
mengiringinya bertahta dalam wadah yang telah disiapkan selama manusia berada
di dalam kandungan: kulit, tulang, daging, dan darah.
Sehingga bisa dinyatakan, di dalam kandungan,
telah terbentuk sang aku (hulun), tetapi sang aku tersebut belumlah memiliki
kesadaran ketuhanan yang penuh sehingga belum terbentuk Hingsun (dipadankan dengan konsep dalam tradisi
Ibrani, ini adalah adam primordial). Barulah ketika sang jabang bayi menghirup
udara pertama, ia memiliki Hingsun dan menjadi manusia berkesadaran
ketuhanan. Seiring dengan perjalanan
hidupnya, sang jabang bayi ini bisa memilih untuk menjadi atau tidak menjadi
manusia dengan kesadaran ketuhanan yang penuh (jalma tumitah kang sampurna,
dalam bahasa Ibrani disebut adam katmon).
Hingsun adalah sejatinya
manusia, yang merupakan pengejawantahan perdana dari Gusti Yang Maha Tinggi dan
Tak Bisa Dibatasi oleh apapun, yang membawa kesempurnaan Gusti. Dalam keberadaan-Nya sebagai Hingsun inilah,
Gusti menjadi Sang Penuntun di dalam diri manusia. Hingsunlah yang selalu memberi titah, dawuh
ataupun pesan kepada manusia. Semakin
jernih manusia, semakin pula manusia menunjukkan kepatuhan kepada titah, dawuh
atau pesan ini, semakin penuhlah keterhubungan manusia dengan Hingsun. Ini yang selanjutnya memungkinkan manusia
langsung mengakses daya paling murni dari Sumber Kekuatan Kosmik yang bertahta
di telenging manah, yaitu Hingsun. Pada titik inilah, manusia bisa memiliki
kekuatan tanpa batas, dan bisa menggatrakan berbagai perkara yang dalam
kosakata manusia dimengerti sebagai elok
(bahasa Jawa Kuna), miracle (bahasa
Inggris) atau keajaiban (bahasa Indonesia).
Elok, miracle atau keajaiban ini muncul pada diri manusia karena manusia
mengejawantahkan keperkasaan atau nowoso
Gusti. Namun, kuasa tanpa batas ini
hanya bisa didayagunakan untuk kerja penataan, kerja konstruktif, sesuai
kehendak dari Hingsun. Sama sekali tak
berjalan manakala ditujukan untuk mengikuti keinginan atau karep dari sang aku
(hulun) semata apalagi sampai membawa pada kerusakan dan ketidakselarasan.
Hingsun Hanya Menuntun
Sekalipun
pada diri Hingsun terhimpun semua kuasa kosmik, dalam relasinya dengan hulun,
sang aku, atau pribadi manusia, Ia mengambil peran hanya sebagai penuntun,
pemberi rekomendasi, penunjuk arah.
Tidak mengambil keputusan atau memaksakan kehendak. Di sinilah letak free will atau kehendak bebas
manusia. Manusialah yang mengambil
keputusan untuk mengikuti tuntunan dan arahan dari Hingsun atau mengikuti
keinginannya sendiri.
Dalam
terminologi Jawa dinyatakan sebagai berikut: Gusti kang murba, manungsa kang wasesa. Gusti yang memegang kuasa, tetapi manusialah
yang memegang wewenang. Manusialah yang
memutuskan bertindak apa dan melangkah kemana.
Kasunyatannya, bahkan pada keadaan ketika manusia sudah bisa
berkomunikasi dengan Hingsun dan menangkap pesan-pesan dari-Nya, bentuk
pernyataan-Nya bukanlah instruksi atau perintah yang memaksa. Melainkan sekadar saran dan pemaparan
mengenai resiko logis dari setiap opsi tindakan yang ada. Manusia diberi kebebasan penuh untuk
memutuskan opsi tindakan mana yang diambil.
Dengan
rancangan seperti inilah, maka kehdupan di Planet Bumi dimana manusia berada,
menjadi sangat dinamis dan penuh warna.
Segala kemungkinan bisa terjadi.
Pada satu kutub, bisa terealisasi skenario hamemayu hayuning bawana:
ketika peradaban yang tergatra adalah yang mengejawantahkan keselarasan
semesta. Tapi pada kutub lain, ada skenario
yang bertolak belakang: peradaban yang terbentuk adalah yang jauh dari
keselarasan. Bahkan tidak menutup
kemungkinan, manusia malah merusak dan menghancurkan sendiri Planet Bumi
sebagai tempat tinggalnya. Skenario
inilah yang pernah terjadi di masa silam, sehingga sebuah generasi bisa musnah
dan manusia menata kembali peradabannya dari titik nol.
Pada
skala pribadi, manusia juga bisa mengambil skenario tindakan yang serba patuh
kepada tuntunan dan arahan Gusti, sehingga kehidupan yang tergatra adalah yang
serba indah selaras dengan cetak birunya.
Dan pada kondisi itu, niscaya manusia bisa merasakan kebahagiaan
penuh. Tapi manusia juga bisa memilih
untuk membangkang, memilih jalan yang tak sesuai cetak biru. Resikonya jelas adalah keadaan hidup yang
bisa membawa penderitaan: mulai dari sakit pada raga, sakit pada emosi,
kekurangan finansial, keruntuhan rumah tangga, kehancuran karier, dan sebagainya.
Keadaan-keadaan
yang membawa pada penderitaan, sesungguhnya bukanlah hukuman atau
pengejawantahan dari kebencian dan kemarahan Hingsun karena telah
dibangkang. Tidak sama sekali, karena
tak akan ada kebencian, kemarahan dan hasrat menghukum pada Hingsun atau Gusti
Yaktining Hurip.
Apapun
keadaan yang dialami manusia, tak lebih dari resiko logis sebuah tindakan, yang
telah termapankan dalam satu sistem kausalitas yang kompleks tapi pasti. Jika manusia sembrono dalam melangkah, ia
bisa terjatuh, dan jika saat terjatuh kakinya membentur batu, terlukalah kaki
itu. Luka itu membawa sakit, dan itu
bisa membawa derita. Sakit dan derita
demikian, juga dalam seluruh bentuk yang lain, bukanlah hukuman dari Gusti
Yaktining Hurip, tapi sekadar resiko logis.
Manusia Benar-benar Merdeka
Jika
seseorang ingin merasakan sakit dan derita, tentu saja diperkenankan baginya
untuk tidak patuh kepada jalan keselamatan yang dituntunkan Hingsun. Jika seseorang siap menanggung resiko logis
dari sebuah tindakan yang dia sudah mengerti akan membawa sakit dan derita
tertentu, ya tidak ada larangan baginya untuk melakukan tindakan itu.
Pada
kenyataannya, salah satu kondisi yang mematangkan jiwa manusia adalah ketika
manusia masuk kepada situasi derita tertentu yang muncul karena ketidaktepatan
tindakan. Jadi, berani membangkang atau
tidak patuh kepada titah Gusti, juga
tidak dilarang. Tidak akan akan membuat
Gusti marah atau benci. Selama kita siap
menanggung deritanya, dan selama kita sadar bahwa lewat penderitaan itu kita
bisa mendapatkan pembelajaran hidup yang berharga, lakukan saja pembangkangan
dan ketidakpatuhan itu.
Namun,
secara umum, manusia memang tidak menyengajakan diri membangkang atau bersikap
tidak patuh. Yang sering kali terjadi
manusia cuma tidak peka pada tuntunan Hingsun.
Atau, ia mengabaikan tuntunan itu karena tak kuasa melawan keinginannya
sendiri, atau terpesona dengan penalarannya sendiri. Baru ketika muncul resiko logis yang membawa
beban atau penderitaan berat, jiwanya menjerit dan menyesal.
Penyesalan
karena keliru melangkah, apalagi jika dilakukan terus menerus, sebenarnya tiada
berguna. Karena itu tidak menghilangkan
penderitaan, malah menambah intensitasnya.
Semakin tenggelam seseorang dalam penyesalan, semakin bertambah penderitaannya.
Maka,
seseorang yang telah sampai pada penyadaran akan kejumbuhan hulun dan Hingsun,
kawula dan Gusti, dan jernih mencermati realitas hidup, tak akan pernah mau
tenggelam dalam penyesalan. Jika suatu
saat baik dengan sengaja maupun tak sengaja berbuat tidak tepat yang membuahkan
resiko logis berupa kepahitan dan penderitaan, sikapnya sederhana. Pertama, dengan ksatria mengakui bahwa
tindakannya memang tidak tepat. Kedua,
dengan ksatria pula menanggung semua sakit dan derita yang muncul. Ketiga, melakukan semua tindakan yang bisa
dilakukan untuk memulihkan kondisi dan keluar dari sakit dan penderitaan
itu. Kenyataannya, pada situasi ketika
manusia telah terjatuh pada sakit dan derita tertentu, Hingsun pun selalu
memberi solusi atau tuntunan jalan keluar.
Semakin
bijaksana dan matang jiwa seseorang, tentunya ia akan menjadi makin cermat
dalam melangkah. Ia semakin meminimalkan
tindakan yang membawa pada kerugian.
Kerugian terbesar adalah jatah waktu hidup terbuang sementara tugas atau
missi hidup belum tertunaikan. Sebaliknya, ia pasti memprioritaskan tindakan
yang selaras dengan peruntukannya, sesuai dengan missi kehidupannya.
Kongkritnya,
seseorang yang telah berkesadaran penuh, menjalani detik demi detik
kehidupannya, untuk berkarya dan melakukan tindakan hamemayu hayuning bawana sesuai cetak birunya. Seiring dengan itu, ia meresapi keberadaannya
sebagai manusia yang apa adanya: makan tatkala lapar, tidur tatkala mengantuk,
melakukan hubungan seks tatkala hasrat itu muncul, menghibur diri ketika penat,
dan seterusnya. Ia sadar bahwa ia
merdeka melakukan apapun, selama tidak mengganggu kemerdekaan orang lain. Ia juga sadar, dalam segala tindakan yang ia
lakukan, Hingsun atau Gusti selalu bersamanya.
Bahkan seluruh daya untuk melakukan semua tindakan itu sesungguhnya juga
mengalir dan bersumber dari-Nya.
[1]
Notodoko, Torogono, Gokonongodo dan Gonodoko adalah kuasa-kuasa Gusti yang ada
di dalam diri manusia, dengan rincian sebagai berikut:
1.
Notodoko bertahta pada kulit, bertanggung jawab
terhadap watak atau kesadaran manusia.
Kesadaran sendiri berfungsi sebagai bagian pengambil keputusan di dalam
diri manusia. Disimbolkan oleh telunjuk,
dan pintunya adalah mata.
2.
Torogono bertahta pada tulang, bertanggung jawab
terhadap rasa manusia. Rasa ini
berfungsi sebagai perangkat sensor terhadap berbagai realitas yang dihadapi
manusia, mulai dari yang memiliki getaran kasar hingga getaran halus. Disimbolkan oleh jari tengah, dan pintunya
adalah hidung.
3.
Gokonongodo bertahta pada daging, bertanggung
jawab terhadap nalar manusia. Nalar ini
berfungsi sebagai perangkat analisa dan pengolah terhadap data yang dicerap
oleh rasa. Simbolnya adalah jari manis
dan pintunya adalah mulut.
4.
Gonodoko bertahta pada darah, bertanggung jawab
pada nyawa manusia. Nyawa ini adalah
sumber power atau sumber daya yang memungkinkan seluruh perangkat kemanusiaan
bisa bekerja. Simbolnya adalah jari
kelingking dan pintunya adalah telinga.
Post a Comment