Fenomena “kematian” itu ternyata kompleks. Dan mencermati fenomena ini, membuat kita
benar-benar belajar tentang kehidupan dan bagaimana menjalani hidup secara
tepat. Dalam artikel ini penulis hendak
menguraikan beberapa kesadaran terbaru penulis mengenai realitas yang terkait dengan “kematian” dan kehidupan
pasca “kematian”.
Mati Sulit, Hidup Juga Sulit
Penulis pernah menjumpai seorang nenek yang 2 tahun hanya
bisa terbaring di tempat tidur. Tubuhnya telah demikian kurus, tulang tinggal
berbalut kulit. Ia pun tak bisa
meluruskan kakinya. Dua tahun kakinya
tak bisa ditekuk. Ada juga seorang kakek
yang 8 bulan megap-megap kesakitan di ranjangnya. Tubuhnya juga sudah demikian
kurus, hanya tinggal tulang berbalut kulit.
Menyaksikan realita ini, wajar jika kita bertanya-tanya, mengapa hidup
mesti berujung pada kondisi demikain.
Itu jelas sebuah penderitaan tak terkira, bagi yang menjalaninya maupun
bagi anggota keluarga yang merawatnya.
Semua yang terjadi – termasuk pada sang nenek dan kakek
tersebut - tak lebih dari konsekuensi sebuah pilihan hidup. Gusti sudah memberi kehendak bebas pada
manusia. Dengan kehendak bebas itu,
bahkan Gusti tidak melarang ketika manusia memilih untuk terjun ke jurang. Nah, mengenai derita yang muncul akibat
tindakan itu, itu adalah bagian dari hukum semesta yang berlaku pada siapapun.
Dalam banyak kasus, muncul persoalan ketika seorang
manusia pernah membuat pilihan tertentu yang membuat sukma mereka terikat pada
raga, walau raga sebenarnya sudah rusak.
Ketika membuat pilihan itu, tentunya ada unsur ketidakcermatan. Ketika ketidakcermatan ini terjadi pada
situasi genting, tentu saja konsekuensinya menjadi sangat berat.
Ternyata kehidupan ini memang kompleks. Raga manusia ini sebenarnya produk istimewa
di jagad raya ini. Ia laksana kendaraan high
class dan super canggih yang bisa dipergunakan untuk melakukan penjelajahan
hebat. Nah, ras-ras lain di jagad raya
ini, tidak sedikit yang ingin mendapatkan kegunaan dari raga yang dimiliki
manusia.
Maka, mereka bisa menggoda manusia dan memancing manusia
agar berada dalam kekuasaan mereka. Dan
itulah yang acapkali terjadi.
Hasrat-hasrat tertentu manusia- yang sebagian besar sangat halus dan
tersembunyi, menjadi pintu masuk ras-ras lain untuk mengambil alih kendali dan
jika mungkin, menguasai. Ras-ras itu umumnya menawarkan bantuan untuk
mendapatkan apa yang dihasratkan manusia.
Ketika manusia setuju, transaksi terjadi. Dan masuklah ras-ras tersebut ke dalam raga
manusia lalu merubah tatanan di sana.
Maka, terjadilah keterikatan itu dan manusia bisa tak lagi memegang
kendali bahkan sampai tak punya kuasa atas raganya sendiri.
Pada jangka pendek, ikatan dengan ras lain, biasanya
belum terlihat dan terasa buah penderitaannya.
Malah bisa jadi berdampak sesuatu yang terkesan membawa kegunaan. Sesuai yang dihasratkan manusia. Tapi pada jangka panjang, ujungnya adalah
penderitaan. Salah satu bentuknya,
manusia menjadi sulit mati tapi hidup pun menderita. Atau, jikapun bisa mati, sukma yang telah
berpisah dengan raga, tidak mencapai ketuntasan sebagaimana wajarnya. Sukma tertahan di atmosfer bumi tak bisa
meneruskan perjalan ke tempat yang sewajarnya ditempati.
Fenomena manusia yang sukma atau jiwanya sulit berpisah
dengan raganya, bisa dijelaskan sebagai berikut. Ras lain yang sudah
mendapatkan persetujuan (baik secara sadar maupun tak sadar) akan masuk ke
dalam raga dan menjadikan raga itu sebagai perangkat atau rumah barunya. Dari dalam ia mempengaruhi pikiran, perasaan,
dari orang yang raganya ia tempati. Ras
tersebut lalu menjadi pengendali bahkan penguasa terhadap orang yang raganya
ditempati itu. Dan akan mendorong orang tersebut untuk bertindak sesuai
kepentingannya.
Proses selanjutnya, ras ini tak mau kehilangan raga
itu. Walaupun raga itu sebenarnya telah
rusak, ras ini memberikan energi yang dimilikinya. Sehingga raga tersebut tetap punya daya
hidup. Walaupun seseorang sebetulnya
sudah punya kehendak meneruskan perjalanan ke dimensi baru dan lepas dari raga
itu, ia tak bisa melakukannya. Nyawanya
tak kunjung lepas, karena terikat.
Mereka yang sukmanya tertahan dalam raga yang telah
rusak, bisa dibantu oleh pribadi berkesadaran yang dipenuhi Kasih Murni. Pribadi yang sadar ini yang mengalirkan
energi kasih murni, dan melakukan negosiasi dengan ras-ras yang memasuki raga,
agar mereka bisa mengikuti aturan main semesta, dan terjadi kepulihan pada
pribadi yang semula terikat.
Dengan kasih murni, segala sesuatunya dipulihkan,
diharmonikan, dikembalikan pada proporsionalitasnya. Ketika ras-ras yang semula memasuki raga itu
bersedia keluar, memutus ikatan, dan raga kembali pada kemurnian, orang-orang
seperti yang digambarkan di atas, bisa kembali ke jalan kehidupan yang tepat
dan proporsional baginya. Lugasnya,
mereka bisa meninggal dunia dengan tenang, untuk kemudian menjalani fase
kehidupan baru di dimensi berbeda.
Arwah-arwah Tertahan
Penulis memiliki rekan-rekan seperjalanan yang sering
membantu arwah-arwah yang tertahan di dimensi yang jika dibahasakan dalam
bahasa manusiawi, “penuh dengan ketidaknyamanan.” Rekan-rekan penulis di Magelang yang
sama-sama belajar laku spiritual Jawa Kuna , tidak cuma 1-2 orang yang memiliki
pengalaman membantu arwah-arwah tertahan.
Nyaris semua rekan di sana pernah mengalaminya.
Sebagai contoh, rekan penulis bernama Giok yang suatu
saat ke Madura guna mendampingi rombongan peziarah. Saat rombongan peziarah itu mulai berdoa di
makam tujuan, Giok memilih tempat sepi untuk bermeditasi. Ternyata, dalam meditasi itu ia malah
didatangi oleh arwah-arwah yang minta disempurnakan. Dalam penuturannya, ia seperti dikerubuti
oleh tubuh-tubuh energi yang berterbangan mengerubutinya. Maka, sesuai dengan kesadaran yang ia miliki,
Giok mememenuhi permintaan arwah-arwah itu dan mengalirkan energi murni dari
pusat hatinya sambil menyabda kesempurnaan bagi para arwah. Maka, arwah-arwah itupun melesat naik dan
memasuki terminal penantian sebelum terlahir kembali dengan raga baru.
Mengapa arwah-arwah ini tertahan? Jawaban sederhananya, karena mereka terlalu
melekat dengan berbagai kesenangan ragawi dan pikirannya juga terikat dengan
apa yang ia tinggalkan di Planet Bumi.
Saat di penghujung kehidupan dan menghembuskan nafas terakhir jiwanya tidak
jernih, justru penuh dengan gejolak.
Termasuk yang membuat arwah tertahan adalah pikiran yang dipenuhi dogma
dan ketakutan yang ilusif akibat dogma tersebut.
Dimensi Vertikal dan Horizontal
Ada hasil perbincangan penulis dengannya yang perlu
diungkap dalam bagian ini, yaitu mengenai dimensi vertical dan dimensi
horizontal di jagad raya ini. Dengan
memahami ini kita bisa mengerti apa yang terjadi pada arwah atau sukma yang
telah lepas dari raganya.
Secara sederhana dimensi vertical menjelaskan keberadaan
lapisan-lapisan semesta dari aspek kehalusan/kepejalan energi yang
membentuknya. Semakin tinggi dimensi, ia
semakin halus karena semakin murni.
Sementara semakin rendah, semakin pejal bahkan kasar.
Nah, arwah atau sukma yang telah lepas dari raganya,
memasuki dimensi vertical ini sesuai dengan tingkat kesadaran dan ketuntasan
dalam menjalankan missi dan tugas kehidupannya.
Mereka yang berkesadaran rendah, tidak menuntaskan missi, dan melekat
pada bumi, akan ada di dimensi rendah yang membawa ketidaknyamanan.
Arwah atau sukma yang semula ada di dimensi ini
disempurnakan, dalam artian dinaikkan posisinya, diangkat ke terminal terdekat
di mana ia bisa menunggu kelahiran baru dalam kenyamanan. Nah, kata “terminal” ini adalah pembahasaan
manusiawi saja. Pada esensinya ia hanya
sebuah tempat atau dimensi lembut dimana sukma berhenti sejenak, beristirahat,
sebelum kemudian mendapatkan kehidupan baru dengan raga baru.
Nah, dimensi vertical ini tak bisa diungkap ada berapa
lapis. Yang pasti, semakin tinggi ia
semakin halus. Dan ada sukma-sukma yang
kesadarannya demikian tinggi, jiwanya jernih, sekaligus telah menuntaskan missi
kehidupannya, yang setelah berpisah dengan raga mendiami dimensi yang sangat
halus. Di dimensi ini mereka hidup tanpa
raga sebagaimana manusia yang ada di bumi.
Pada tataran tertingginya, bahkan keberadaannya omnipresence, tidak terikat ruang dan waktu sehingga bisa ada
dimana-mana, dan
Sementara itu, dimensi paralel berkaitan dengan
keberadaan semesta pada dimensi fisiknya, yang terdiri atas planet,
bintang-bintang dan galaksi. Dimensi paralel inilah yang menjadi tempat tinggal
bagi sukma-sukma yang karena tingkat kesadarannya dan kejernihan jiwanya, masih
harus hidup dengan raga tertentu dan berada pada ruang tertentu.
Orang-orang yang semula berada di Planet Bumi, saat sukma
telah berpisah dengan raganya, bisa kembali ke Planet Bumi atau menempati satu
planet baru di semesta yang demikian luas ini.
Ada tempat yang tak terbatas jumlahnya guna menjadi panggung kehidupan
baru bagi jiwa-jiwa yang langgeng.
Sebelum menempati raga baru di salah satu tempat di
dimensi paralel inilah sukma-sukma berada di terminal yang sesuai dan berada
dalam kenyamanan.
Moksha
Dalam kesadaran penulis,
moksha bukanlah
berarti usainya lakon kehidupan sang jiwa.
Tapi itu hanya satu capaian tertinggi dari satu jiwa, ketika ia bisa
mencapai tataran tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak mesti hidup
dengan raga tertentu.
Mereka yang moksha, tidak meninggalkan sampah raga di
muka bumi. Mereka bisa mengurai raganya
dan mengembalikan semua unsur itu kepada asalnya dengan kesadaran. Yang api kembali pada api, yang tanah kembali
pada tanah, yang air kembali pada air, yang udara kembali pada udara. Dan tinggallah jiwa yang murni.
Lebih jauh, mereka yang moksa bisa memutus mata
rantai reinkarnasi dan terus melanjutkan perjalanan menuju kehidupan baru yang
lebih murni. Moksa dengan
demikian, adalah kata yang menggambarkan kondisi sempurna yang dicapai manusia.
Mereka yang kamuksan hidup dalam dimensi vertical yang
sangat halus. Tidak beraga, tidak pula
terikat ruang dan waktu, bisa omnipresence,
ada dimana-mana. Namun, karena pagelaran
kehidupan di jagad raya ini tak pernah usai, mereka yang telah mencapai
kamuksan pun tidak menutup kemungkinan bisa kembali ke muka bumi, jika
diperuntukkan demikian, tanpa membuat mereka menderita layaknya orang
kebanyakan yang hidup di bumi. Mereka
kembali ke bumi bukan karena daya tarik bumi dan keterpaksaan, tapi karena
tugas tertentu. Sosok-sosok demikianlah
yang dalam kesadaran penulis bisa dimengerti sebagai para avatar di Planet Bumi.
luar biasa... walaupun masih banyak.pertanyaan yg muncul dr benak saya..
ReplyDeleteluar biasa... walaupun masih banyak.pertanyaan yg muncul dr benak saya..
ReplyDeleteIjin share boleh mas setyo... rahayu
ReplyDelete