Manusia memang dimungkinkan untuk mengakses energi dari luar dirinya, baik
berupa energi benda-benda kosmik maupun energi dari titah hurip lain. Ada laku atau tradisi yang berkembang
berkenaan dengan ini. Namun, ini bahkan
memunculkan resiko yang lebih besar lagi ketimbang pola-pola pengaksesan energi
dari dalam diri sebagaimana di paparkan di atas.
Setiap benda kosmik, seperti matahari, bulan, bahkan planet Bumi sendiri,
memiliki energi tersendiri. Tentunya,
energi ini ada dengan peruntukan tertentu.
Dengan pola meditasi atau semedi tertentu, manusia bisa menyerap energi
matahari, energi bulan, dan energi dari benda-benda lain di langit. Manusia juga bisa menyerap energi air, api,
tanah dari bumi. Nah, penyerapan yang dilakukan manusia tentunya membuat
berbagai benda kosmik itu tidak bisa bekerja optimal karena ada daya yang
dialihkan tidak sesuai peruntukannya.
Ini beresiko membuat tatanan kosmik menjadi tidak harmoni, dan pada
jangka panjang pasti mempercepat proses destruksi tempat tinggal manusia. Dan resiko lainnya, energi yang terserap
merubah tatanan energi di dalam raga manusia, mengubahnya dari tatanan
sewajarnya sebagaimana saat dilahirkan.
Sekalipun pada jangka pendek, energi yang terserap ini bisa berguna,
pada jangka panjang, ia malah menghambat pencapaian kamuksan atau sampurnaning
hurip.
Kemudian, titah hurip lainnya yang disebut dengan berbagai nama: demit,
jin, siluman, juga memiliki energi masing-masing. Energi itu ada pada mereka karena mereka juga
memiliki tugas kosmik tersendiri. Namun,
memang dimungkinkan terjadinya persentuhan antara manusia dengan berbagai titah
hurip tersebut. Persentuhan ini terjadi baik dalam keadaan manusia menyadari
maupun tidak menyadarinya.
Persentuhan inilah yang beresiko, apalagi jika dibarengi penyerapan energi
dari titah hurip lain itu ke dalam diri manusia. Apalagi titah hurip lain itu bisa memiliki
kehendak, hasrat dan kepentingan sendiri.
Sebagian mereka ingin mempengaruhi dan mengendalikan manusia, untuk
memenuhi kepentingan mereka sendiri.
Bagi mereka, raga manusia laksana kendaraan canggih. Mereka tak memilikinya, sehingga ketika ada
peluang mereka bisa masuk ke dalam raga ini, mereka pasti melakukannya. Dan dengan itu, raga manusia bisa mereka kendalikan
dan pergunakan untuk kepentingan mereka.
Secara tidak sengaja, manusia bisa ketempelan atau dimasuki energi dari
titah hurip lain, atau bahkan sosok titah hurip lain itulah yang menempel dan
memasuki raga manusia. Ini bisa terjadi
karena titah hurip itu memiliki raga yang lebih halus dan gampang dirubah
gatranya. Sebagai contoh, ia memasuki
tempat tertentu dimana ada portal ke dimensi lain, atau berada di tempat
tertentu yang merupakan tempat tinggal titah hurip lain. Ketika seseorang sudah tertempeli atau
termasuki, tentu saja tatanan energi di dalam raganya berubah menjadi tidak
wajar dan harmoni lagi. Demikian
juga, pola nalarnya tidak lagi
murni. Ia bisa bertindak mengikuti
pengaruh atau pengendalian dari yang menempeli atau memasuki raganya. Demikian pula, emosinya bisa meledak-ledak
tanpa ia mengerti mengapa itu terjadi.
Pada manusia yang dikategorikan indigo, peristiwa demikian lebih potensial
terjadi. Karena raga manusia yang
dikategorikan sebagai indigo, di dalam pandangan titah hurip lain itu,
dipandang lebih canggih dan lebih memungkinkan mereka mempergunakannya untuk
mencapai berbagai kepentingan dan tujuan.
Sementara itu, manusia juga bisa dengan sengaja mengakses energi dari titah
hurip lain, bahkan membuat titah hurip lain menempel dan memasuki raganya. Pembacaan mantra atau wirid tertentu, juga
pelaksanaan ritual tertentu yang didasari sebuah ambisi, memungkinkan peristiwa
masuknya energi lain ke dalam diri.
Keberadaan titah hurip lain di dalam diri, memang bisa saja membawa
kegunaan dalam jangka pendek. Seseorang
yang dimasuki titah hurip lain ini, bisa saja menunjukkan kewaskitaan
tertentu. Ia bisa mengetahui peristiwa
yang tidak diketahui manusia pada umumnya, membuat ramalan yang kadang tepat,
atau menyampaikan petuah-petuah moral yang indah dan mengagumkan. Bisa juga ia memiliki daya penyembuhan atau
kesaktian tertentu. Atau, bisa juga itu
berefek pada melejitnya kekayaan finansial.
Namun, kegunaan jangka pendek ini tak sebanding dengan kerugian pada jangka
panjang. Siapapun yang mengalami situasi
raganya telah dimasuki titah hurip lain, entah itu demit, jin, siluman dan
lainnya, bisa dipastikan hidupnya tak akan selaras dengan cetak birunya. Dan tidak akan pernah mencapai kamuksan atau
sampurnaning hurip. Bahkan sebagian bisa
mengalami situasi sulit pada ujung kehidupan di Planet Bumi, ketika badan sudah
rusak tapi jiwanya tak bisa meninggalkan raga.
Sehingga ia tersiksa di dalam raga.
Jikapun bisa terlepas dari raga, jiwanya tak akan bisa melanjutkan
perjalanan, tertahan di dimensi titah hurip yang dulu dia akses energinya. Dan ini sebenarnya laksana orang terpenjara,
membawa penderitaan jangka panjang.
Penulis, yang pernah bertahun-tahun berkelana ke berbagai tempat yang
dianggap sakral, dan menjalani laku dan ritual yang berorientasi ke luar diri,
pernah mengalami kondisi di mana raga benar-benar menjadi penuh dengan
keberadaan energi atau titah hurip lain.
Efeknya, emosi menjadi sangat tidak stabil, dan kemampuan bernalar pada
titik tertentu menjadi lumpuh, persis seperti komputer yang mengalami hang.
Lewat laku penjernihan diri, kondisi demikian dipulihkan. Perlahan tapi pasti, raga penulis menjadi
murni, dan yang bertahta di dalam diri ini hanyalah Tuhan.
Namun, proses pemulihan ini tidak mudah.
Karena merupakan buah dari laku bertahun-tahun, pemulihan dilakukan
bertahap. Dan ada masa-masa dalam proses
pemulihan ini, penulis mengalami sakit pada raga yang cukup membawa derita.
Pengalaman serupa, dialami tembayat atau pelaku meditasi yang semula
badannya penuh dengan berbagai energi dari luar. Mereka mengalami sakit raga selama beberapa
waktu. Ini bisa dijelaskan sebagai
berikut. Keberadaan berbagai energi dari
luar atau titah hurip lain di dalam tubuh, cenderung telah mapan di dalam
tubuh, menyatu dengan kulit, daging, tulang, atau darah. Mengeluarkan mereka ini, pasti membawa efek pada
raga. Proses keluarnya mereka membuat
badan benar-benar terguncang, seluruh metabolisme bisa terpengaruh, dan bisa
menimbulkan luka pada bagian raga yang ditinggalkan. Sakit itu berasal dari fenomena ini.
Jika seseorang yang menjalani laku penjernihan diri belum sepenuhnya mau
melepaskan berbagai energi dari luar diri – karena merasa sayang, atau
ketakutan tak punya lagi daya yang bisa diandalkan, rasa sakit itu bisa
bertambah. Karena ada konflik atau
peperangan di dalam diri. Satu-satunya
yang bisa meringankan penderitaan adalah sikap berserah diri, keberanian
melepas semuanya dan hanya bergantung kepada Tuhan.
Post a Comment