Gusti Hingkang
Welas Hasih, Hingkang Handeg Wikan lan Waskita, hingkang hanitahake tinggewikan
jeng salir wose. Lan kiye kang dadi wahananing Gusti sawara sakabehe, kang ngutus hulun maringi warta
marang tumitah Djowo.
Gusti Yang Maha Pengasih, Yang Maha Mengetahui dan
Bijaksana, yang menjadikan semesta ini beserta isinya. Dan ini yang menjadi
sabda Gusti,
permulaan segalanya, yang mengutus aku memberi berita kepada tumitah Djowo.
(LAYANG DJOJOBOJO, Bagian dari Manuskrip Gunung Klothok)
(LAYANG DJOJOBOJO, Bagian dari Manuskrip Gunung Klothok)
Semesta adalah tempat kita
berada. Dalam bahasa Jawa Kuno keberadaan ini dinamai dengan tinggewikan atau karasuh gumelar. Planet
Bumi yang kita diami serupa satu noktah kecil pada semesta yang mahaluas. Kita
memperbincangkan semesta sebagai bahan bercermin bagi diri kita sendiri karena
kita adalah semesta kecil atau mikrokosmos.
Selain itu, memang diperlukan pengertian
terhadap semesta ini karena dalam nalar spiritual Nusantara Kuna sangat
ditekankan pentingnya keselarasan antara manusia dan semesta.
Pengejawantahan Gusti
Gusti atau Tuhan, adalah
realitas tanpa batas yang tak bisa disaksikan gatra atau rupanya. Tapi keberadaanNya nyata bisa dirasakan
bahkan dimengerti. Jembatan untuk
mengerti keberadaan Gusti, adalah semesta (jagad ageng atau makrokosmos).
Apakah
sejatinya semesta? Semesta adalah
kesatuan dan keseluruhan dari keberadaan baik yang berupa materi maupun energi,
yang kasat mata maupun tak kasat mata, yang diam maupun bergerak, yang punya
free will maupun yang tidak.
Pada tataran
materi atau sebagai realitas yang kasat mata, jelas semesta memiliki batasan
ruang dan waktu. Batasan ruang
menunjukkan ada pangkal dan ujung dari keberadaannya. Sementara batasan waktu menunjukkan bahwa
semesta pernah tidak ada, mengada, lalu niscaya menjadi tiada. Sekalipun karena keluasannya, kita tak pernah
tahu di mana batas semesta. Kita perlu
mempertimbangkan kenyataan yang diungkap sebagian ahli tentang keberadaan
parallel universe atau multiuniverse.
Satu universe yang terdiri dari milyaran galaksi, sementara satu galaksi
terdiri dari milyaran planet dan bintang, memang punya batasan tertentu yang
sudah bisa dijangkau lewat teknologi masa kini.
Tapi kita tak bisa menduga berapa sebenarnya jumlah universe yang pasti.
Kemudian, kejadian
semesta yang dinyatakan sekitar 14 milyar tahunpun[1],
hanyalah sebuah prediksi berdasar pengkajian terhadap satu bagian semesta yang
bisa dijangkau para ahli. Itu tegasnya,
mengungkap prediksi kejadian universe di mana galaksi Bimasakti berada. Tetapi di luar itu, para pakar sains belum
bisa bicara apapun.
Tetapi pada
tataran energi, semesta adalah realitas yang tanpa batas. Di balik setiap keberadaan yang bersifat
material, ada energi. Energi inilah yang
bertanggung jawab terhadap kejadian, perubahan, pertumbuhkembangan, maupun
kehancuran dari keberadaan material tersebut.
Energi ini sendiri berlapis-lapis, dengan muara pada energi permulaan
yang oleh para ahli fisika sebagai dark
energy. [2]
Melampaui
semua materi dan energi itulah Keberadaan Tanpa Batas yang menjadi sumber
segalanya, yang tak bergatra atau berupa. Itulah Tuhan atau Gusti. Semesta
adalah pengejawantahannya. Dengan
keberadaan semesta, Keberadaan Tanpa Batas itu bisa disaksikan atau dirasakan. Tuhan menjadi inti semesta sekaligus yang
memenuhi dan meliputi semesta itu.
Sesungguhnya tiada batasan antara Tuhan dan semesta, karena sejatina
kedua realitas ini jumbuh atau bersenyawa.
Harmoni Manusia dan Semesta
Leluhur
Nusantara Kuna mengungkapkan ajaran hamemayu
hayuning karasuh gumelar. Artinya,
membuat ayu atau memperindah jagad tergelar yang sejatinya telah indah. Kesadaran ketuhanan dan tekad berbakti kepada
Sang Sumber Hidup, diejawantahkan melalui sikap penuh keselarasan dengan
semesta itu sendiri beserta seluruh penghuninya, baik yang kasat mata maupun
tak kasat mata.
Kenyataannya,
aura atau vibrasi manusia dan semesta saling mempengaruhi. Keadaan kejiwaan manusia berpengaruh terhadap
tatanan energi semesta. Sementara
konstelasi energi semesta mempengaruhi kondisi kejiwaan manusia. Saat manusia penuh angkara, penuh kebencian,
secara otomatis terpancar energi yang mendisharmoni tatanan energi
semesta. Sebaliknya, pergerakan benda-benda semesta mempengaruhi
tidak hanya emosi manusia tetapi juga tingkat kesadarannya.
Karena itulah,
harmoni antara manusia semesta menjadi satu pilar penting dalam kesadaran
kosmologis manusia Nusantara sejak jaman dulu kala. Leluhur Nusantara Kuna menganjurkan tindakan
untuk mengharmonikan tatanan energi semesta melalui laku pemancaran energi
cinta kasih saat bersentuhan dengan berbagai benda semesta dan keberadaan, saat
bermeditasi, maupun melalui berbagai ritual simbolik dengan menggunakan
uborampe tertentu. Uborampe ini, di
samping merupakan sarana pembelajaran sebuah prinsip keluhuran, juga merupakan media
pemancaran energi cinta kasih kepada seluruh keberadaan.
Leluhur
Nusantara Kuna juga mengajarkan sikap welas asih dan penuh hormat kepada titah
hurip atau keberadaan tak kasat mata baik yang berada di tingkatan tinggi (para
hyang, dewa dewi) maupun yang berada di tingkatan rendah (demit, puwa
puwi). Kepada demit atau puwa puwi
sekalipun, tidak diajarkan kebencian atau permusuhan. Tetapi sebaliknya, kepada mereka tetap
dituntunkan sikap welas asih karena bagaimanapun mereka adalah juga pengejawantahan
dari Yang Maha Agung itu sendiri. Kepada
mereka yang telah berkesadaran, leluhur Nusantara Kuna memberikan tuntunan
tentang bagaimana bisa membantu meningkatkan vibrasi para titah hurip atau
keberadaan yang masih berada di tingkatan rendah (dalam sudut pandang vibrasi
dan kesadaran) agar mengalami evolusi menuju kesempurnaan.
[1] Umur
alam semesta adalah waktu yang dihitung dari mulai
terjadinya ledakan dahsyat. Umur alam semesta diperkirakan 13,75 ± 0.11 miliar
tahun. (4.339 ± 0.035 ×1017 detik) dalam model Lambda-CDM. Angka ketidakpastian 0.11 miliar tahun
merupakan kesepakatan beberapa peneliti dalam beberapa proyek seperti
pengukuran radiasi latar belakang gelombang
mikro kosmis. Pengukuran radiasi kosmik memberi waktu pendinginan
alam semesta setelah kejadian ledakan dahsyat, dan pengukuran pergeseran
merah alam semesta dapat digunakan untuk menghitung mundur umur alam
semesta.
[2]
Pengamatan Hubble membuktikan bahwa jagat raya ini terus memuai, karena
sejak Big Bang terjadi, partikel-partikel di jagat raya ini terus bergerak
saling menjauh seiring waktu. Pengamatan Hubble menunjukkan bahwa jarak
antar-galaksi terus menjauh. Faktor ekspansi ini adalah dark energy.
Post a Comment