Akhir bulan Agustus 2012, saya kembali mengadakan perjalanan
ke Timur, ke Jogja dan Solo, untuk kepentingan merintis usaha sekaligus
bertirtayatra. Kali ini, saya memilih
menggunakan kereta api, dan tiket murah meriah yang saya dapatkan adalah Kereta
Api Bengawan, jurusan Jakarta-Solo, dengan tujuan Jogja. Menjelang tengah malam, kereta api mulai
meluncur. Sudah lama saya tidak
merasakan kesemarakan naik kereta ekonomi: sebuah pasar berjalan. Sejak naik di Cirebon sampai turun di Jogja,
tak pernah berhenti penjual yang menawarkan berbagai produk: mulai dari mie
rebus, gorengan, kopi panas, kletikan,
dan hingga jasa tarik suara. Untung
saja, kali ini PT. KA menetapkan kebijakan tidak ada tiket berdiri. Jadi, perjalanan masih terbilang nyaman.
Selama perjalanan, secara spontan muncul rasa kagum terhadap
para pedagang di atas kereta ekonomi tersebut.
Bagi saya, mereka benar-benar pejuang kehidupan. Saat orang lain tertidur lelap, para lelaki
dan perempuan tersebut, berjuang mendapatkan rupiah demi rupiah, untuk
melanjutkan hidup diri dan keluarga mereka.
Duh Gusti..paringana woronugroho
kagem poro sederek kulo.......
Saat fajar, kereta sudah mendekati Jogjakarta. Dan terpaparlah keindahan di kanan dan
kiri. Melalui jendela, berganti-ganti
kita menyaksikan hamparan sawah yang menghijau.
Juga barisan perbukitan yang sambung menyambung, demikian gagah. Lalu, gerumbul pepohonan, yang menjadi bagian
dari kebun-kebun milik warga ataupun milik negara. Udara pagi yang masuk lewat kaca kereta,
rasanya sangat menyegarkan...
.
Begitu tiba di Yogya, saya langsung menuju Magelang untuk
sowan ke ayah saya, sembari bernostalgia di kota kelahiran: berjalan di
sepanjang pedestrian di tengah kota. Di
Magelang saya bertemu dengan Mas Bias, sederek yang dipertemukan via Facebook,
dan sore hari bersama-sama meluncur kembali ke Jogja, sowan ke rumah Kang
Sabdalangit. Di rumah Kang Sabdalangit,
di Plengkung Wijilan, kami membicarakan rencana kegiatan bisnis bersama. Setelah tuntas, saya meluncur ke Solo untuk ngangsu kaweruh, sementara Mas Bias
kembali ke Magelang.
Catatan dari Berbagai
Upacara
Saya sungguh berterima kasih kepada Gusti Pangeran, atas woronugraha yang saya dapatkan. Selama dua malam berturut-turut, saya bisa
mengikuti upacara penting untuk pemantapan kawruh dan perbaikan kualitas diri
pribadi. Upacara pertama yang saya ikuti
adalah Upacara Anguati, salah satu tahapan dari 4 tahapan dalam proses ngangsu
kawruh menurut ajaran spiritual Jawa Kuno.
Para pembelajar dalam tradisi spiritual Jawa Kuno yang didasarkan pada
lontar berbahasa Jawa Purwa, harus melewati 4 tahapan: mawiji, anguati,
nyumunar dan mangiket. Mawiji,
dilaksanakan ketika seseorang hendak mulai pembelajaran di bawah bimbingan
seorang guru yang memiliki otoritas mengajarkan kaweruh spiritual. Saya telah menjalani upacara tersebut 3
purnama yang lampau, di Telaga Madirda.
Dan akhir Agustus 2012, saya mengikuti upaca anguati, yang tujuannya
adalah menguatkan kaweruh di dalam diri kita, dan agar kita makin mantap
memegang jalan kebajikan berdasarkan tradisi spiritual yang diwariskan para
leluhur Nusantara.
Saya mengikuti upaca anguati tersebut di Pepunden Sedaleman,
sebuah pepunden yang ditandai dengan keberadaan sebuah pohon jangkang berusia
tua, terletak di Desa Munggur, Kecamatan Mojogedang, Karanganyar. Mas Dipastraya yang menjadi manggala dalam
upacara ini. Peserta lain adalah
saudara-saudara seperguruan yang satu angkatan dengan saya.
Upacara yang berlangsung demikian khidmad, memang secara
kejiwaan kian menguatkan tekad saya untuk menuntaskan proses belajar saya
hingga tataran nimpuno. Sejatinya,
penguatan pada diri saya dan para saudara seperguruan juga terjadi pada tataran
energi. Karena upacara anguati, pada
dasarnya memang sebuah upacara untuk mengundang hadirnya kekuatan semesta
kepada diri kita, untuk mendukung langkah-langkah kita dalam ngangsu kawruh dan
menjalankan dharma. Sejauh pengalaman
saya, memang tidak mudah untuk bisa ngangsu kawruh ajaran spiritual Jawa kuno
yang ketat dalam hal paugeran. Saya
berulang kali terantuk-antuk. Tapi saya
tak akan pernah menyerah. Saya bertekad bulat
menjadi seorang ksatria sejati, yang
ngelmunya tidak setengah-setengah maupun keliru. Semoga Gusti, para leluhur, dan padanyangan
penguasa kekuatan jagad, memberi pertolongan.....
Pada malam berikutnya, saya mengikuti upacara sucen. Upacara ini ditujukan untuk mensucikan diri
kita, menghilangkan berbagai energi negatif di dalam diri kita, dan
mendatangkan energi positif. Yang
istimewa, upacara ini dilaksanakan pada malam di mana bumi, bulan, dan matahari
sedang berada pada satu garis lurus, dan peristiwa semacam ini hanya terjadi 8
tahun sekali. Momen seperti ini, adalah
momen yang sangat bagus untuk meditasi dan upacara-upacara khusus seperti
ruwatan.
Periode saat ini, sejatinya merupakan periode yang rawan,
karena tengah terjadi siklus perubahan tatanan jagad. Semesta sedang menyelaraskan dirinya kembali,
dan itu berdampak pada seleksi yang ketat terhadap diri kita: kita semua,
sedang diseleksi untuk mendapatkan anugerah atau sebaliknya. Yang kotor dan ndableg, ya akan
terlindas. Sementara yang tanggap dan
cepat-cepat membersihkan diri secara lahir dan bathin, ya akan dapat anugerah. Pada periode seperti ini pula, mereka yang
lengah, akan gampang sekali terjerembab.
Di jalan raya misalnya, banyak orang yang tidak waspada, mengalami
kecelakaan. Saya sendiri, sepanjang
perjalanan kemarin, setidaknya bertemu dengan 5 kali kecelakaan di jalan raya.
Karena itulah, upaya-upaya untuk membersihkan diri dan
membuat kita makin selaras dengan semesta, menjadi satu hal yang teramat
penting. Kembali pada upacara sucen yang
saya ikuti: yang menjadi manggala atau penanggung jawab upacara adalah Mas
Dipastraya, dan tempat pelaksanaannya adalah Sendang Dawe, dekat Desa Munggur,
Karanganyar. Sendang Dawe dan Pepunden
Sedaleman, merupakan bagian dari konfigurasi tempat berenergi tinggi dengan
pusat di Gunung Lawu. Di Pepunden
Sedaleman, terdapat pohon jangkang, simbol “kejangkungnya (tercapainya) segenap
gegayuhan (cita-cita)”. Sementara Sendang
Dawe dinaungi Pohon Preh, mirip dengan Sendang Lanji. Pohon ini mirip beringin, tapi punya keunikan
tersendiri: akar yang semula keluar dari dahan dan menggantung, begitu
bersentuhan dengan tanah, bisa berubah menjadi satu batang tersendiri. Sehingga pohon tersebut tampak seperti
memiliki dua batang.
Setelah prosesi manembah, saya dan semua peserta upacara
mandi di pancuran Sendang Dawe. Sungguh
menyegarkan tengah malam mandi di sendang.
Dalam gelapnya malam, kita biarkan air pancuran menyirami raga, membuang
segala kotoran diri, dan membuat kita seperti lahir kembali. Duh
Gusti Ingkang Moho Suci, matur sembah nuwun dumateng sedoyo woronugroho saking
Paduko......
Sowan ke Astana
Kotagede
Setelah sessi ngangsu kawruh di Munggur, Karanganyar, saya
meluncur ke Jogja. Salah satu tujuannya,
adalah memenuhi hasrat jiwa: marak sowan para leluhur di Astana Kotagede. Saya sudah janjian dengan Mas Bias, sederek
asal Magelang, yang sukses berkarier di Sulawesi berkat ngelmu ngobong dupa (baca: ngelmu penyelarasan dengan berbagai
unsur semesta).
Kami meluncur dari rumah Kang Sabdalangit, mempergunakan
sepeda motor. Sebelumnya, kami membeli
uborampe di Pasar Sentul, berupa kembang telon: mawar merah, mawar putih dan
kenanga, juga dupa. Sempat nyasar juga
ke pasar itu, walau sudah diberi rute oleh Kang Sabda. He, he, he, seperti biasa....romantika dalam
tirtayatra.
Sekitar 30 menit berkendara, kami sampai di Astana Kotagede,
pesarean raja-raja Mataram dan para tokoh yang terkait dengan berdirinya Kraton
Mataram yang dulu dirintis oleh Ki Ageng Pemanahan dan Sutawijaya, di Alas
Mentaok. Di sini sumare Ki Ageng
Pemanahan, Eyang Sutawijaya atau Panembahan Senopati, Eyang Jaka Tingkir, Ki
Ageng Nis, Ki Juru Martani, Ratu Kalinyamat, Sultan Hamengkubowono II, dan
lainnya. Sebagian raja yang lain,
pesareannya ada di Astana Imogiri. Tentu
saja, kita tak perlu terjebak untuk menyatakan bahwa di dalam sarean tersebut
pasti ada jenazah para tokoh yang disebut.
Tetapi, yang pasti, pesarean tersebut adalah titik pertemuan antara para
leluhur Mataram tersebut dengan anak keturunan yang ingin marak sowan.
Setiba di Astana Kotagede, kami matur kepada kepala kuncen,
lalu mendaftar pada petugas, dan berganti pakaian, dengan pakaian khas Jawa. Tuntas mengenakan busana Jawa tersebut, kami
masuk ke ruang utama pesarean. Sebelum
memulai prosesi sowan, kami persiapkan dulu dengan cermat uborampe: kami
persiapkan delapan set uborampe, terdiri dari kembang telon, uang kertas dan
uang receh, dan lainnya. Uborampe
tersebut kami letakkan di dalam keranjang bambu yang dialasi daun pisang. Setelah siap, kami membakar dupa, lalu marak
sowan satu persatu: mulai dari Ki Ageng Pemanahan, lalu Panembahan Senopati,
Eyang Joko Tingkir, Ki Ageng Nis, Ki Juru Martani, Sultan Hamengkubuwono II,
Pepunden Pangeran Puger berupa tiyang berukir, dan Ki Ageng Mangir. Karena keterbatasan waktu, memang tak mungkin
kami sowani semua leluhur yang ada.
Tapi, kami secara lahir marak sowan ke beberapa leluhur yang dianggap
paling sepuh, sementara jiwa kami menyapa semua leluhur yang ada di situ.
Di setiap pesarean, saya merapalkan mantra Hong Wilaheng dan
Mantram Gayatri, lalu menghaturkan sungkem sembah bakti kepada Tuhan, para
dewata, para leluhur, dan padanyangan penguasa kekuatan jagad, khususnya kepada
leluhur yang jumeneng di situ. Kami
menghaturkan maksud dan tujuan kami: di antaranya untuk mohon restu, karena kami
punya agenda untuk meneruskan perjuangan para leluhur, sebagai tanda setyo tuhu
kami kepada leluhur. Setelah itu, saya
dan Mas Bias masing-masing bersemedi dan meneruskan proses komunikasi dengan
leluhur sendiri-sendiri. Dalam
komunikasi bathin dengan para leluhur, saya memilih menggunakan bahasa
Jawa. Seperti diwedarkan guru saya,
setiap leluhur yang kini telah ada di dimensi lain dalam bentuk sukma, tak bisa
lepas dari identitas budaya selama hidup.
Maka, jika leluhur kita orang Jawa, tentu saja lebih patut kita
berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Itu
tanda kita menghormati beliau.
Tuntas marak sowan dan manembah di ruang utama pesarean,
kami menuju Sendang Kakung untuk sekedar membasuh badan: menyerap energi
positif yang ada di sendang tersebut.
Sebelum kami membasuh diri, tentu saja, kami kulonuwun dulu, dengan
membakar dupa sebagai simbol penghormatan kepada padanyangan dan leluhur yang
jumeneng di Sendang Kakung, lalu menghaturkan permohonan ijin untuk bisa
membasuh diri di situ.
Prosesi di Sendang Kakung, mengakhiri agenda saya dan Mas
Bias marak sowan pada para leluhur di Astana Kotagede. Dengan mantap kami melangkah pulang: damai
mengiasi hati, semangat untuk setyo tuhu
pada leluhur kian membara.
Perjalanan ke
Pertapan Pringgodani
Setelah mengikuti upacara anguati, saya punya waktu
kosong. Maka, saya memutuskan untuk meluncur
menuju sekitar Gunung Lawu, melangkah mengikuti getaran hati. Tentu saja, saya tak melangkah betulan dengan
berjalan kaki: kali ini saya menggunakan sepeda motor. Dan saya ditemani Mas Joko Darmanto, sederek
asal Batang yang mengendarai Kawazaki jaman baheula. Mulanya, saya ingin ke Candi Sukuh dan Telaga
Madirda. Ndilalah kok kesasar....hingga
akhirnya mbablas ke Tawangmangu. Di
Tawangmangu, saya memang menjumpai panorama jagad yang teramat indah, dengan
udara yang dingin menyegarkan. Tapi,
saya tak puas dengan itu, saya ingin ke pepunden. Dan saya teringat pada Pertapan Pringgodani,
yang saya dengar dari salah satu tamu di rumah Kang Sabdalangit.
Maka, saya coba menemukan pertapan itu, dengan
bertanya-tanya, hingga akhir sampai ke situ.
Pertapaan Pringgodani ada di Desa Blumbang Tawangmangu. Dari pos parkir, untuk sampai ke lokasi
pertapaan, dan ke sendang di mana ada pancuran pitu, butuh waktu antara 1 ½ - 2
jam. Jalan yang kita lalui adalah jalan
setapak yang sudah dicor. Jalurnya turun
naik. Karena itu, tak semua yang berniat
datang bisa sampai. Hanya yang punya
tekad kuat dan fisiknya sehat yang bisa sampai.
Secara visual, jalur menuju Pertapaan Pringgodani memang
indah. Pertama masuk, kita akan berjumpa
dengan kebun sayuran: wortel, daun bawang, kacang-kacangan, dan lainya. Melewati itu, baru kita bertemu dengan
lingkungan hutan dan lembah. Jika mata
dilemparkan ke titik yang lebih jauh, kita akan jumpai bukit-bukit yang berjejer
di sekitar Gunung Lawu.
Setelah berjalan cukup panjang, dan lumayan melelahkan, saya
sampai di Sendang Temanten lalu mandi di pancuran pitu. Tentu saja, sebelumnya saya manembah terlebih
dahulu, dan minta ijin pada leluhur dan padanyangan yang mbahurekso di
situ. Di setiap pancuran yang ada, saya
coba mengguyur tubuh saya, sesuai tata cara yang diwedarkan guru saya. Segar sekali rasanya! Sejauh saya rasakan, aura energi di setiap
pancuran itu memang kuat. Saat air
pancuran menerpa ubun-ubun, cukup membuat kliyengan, he, he.
Tuntas mandi di situ, saya dan Mas Joko berjalan ke lokasi
pertapaan, yang ternyata berupa sebuah bangunan baru, dengan nama Sanggar
Pamelengan. Di situ disebutkan jumeneng
Eyang Panembahan Koconagoro. Saya
manembah dan semedi di situ. Setelah
itu, saya melihat ke berbagai sudut di Sanggar Pamelengan yang dipenuhi oleh patung-patung
penggambaran berbagai posisi meditasi.
Setelah selesai manembah dan meditasi di situ, saya dan Mas
Joko istirahat sebentar, memulihkan energi, di warung dekat Sanggar Pamelengan
milik Mbok Harni, yang juga kami jumpai saat kami berjalan naik. Tak lama, kami memutuskan untuk kembali ke
Munggur, setelah manembah dan meditasi sekali lagi di Sanggar Pamelengan. Nah, pada saat hendak keluar dari sanggar
ini, ada peristiwa unik: seekor kucing berbadan gempal, dengan corak yang tak
biasa, sehingga saya menduganya sebagai kucing hutan, datang mendekat dan
menyenggol-nyenggolkan badannya ke kaki saya.
Dan saat saya elus-elus kepalanya, kucing itu seperti kegirangan. Entah apa maknanya, tapi saya sendiri senang
disambut oleh seekor binatang dengan cara itu.
Lalu, sebetulnya siapa Panembahan Koconagoro dan bagaimana
posisi Pertapaan Pringgodani dalam konfigurasi tempat-tempat berenergi tinggi
di sekitar Gunung Lawu? Sejauh
diwedarkan guru saya, Pertapan Pringgodani – sekalipun secara visual memiliki
pemandangan sangat indah dan menawarkan aura energi yang bagus – tidak termasuk
dalam simpul-simpul utama yang terkait dengan Gunung Lawu, beda misalnya dengan
Telaga Madirda. Lalu, yang jumeneng di
tempat ini, Eyang Panembahan Koconagoro, bukanlah sosok Gatotkaca sesuai nama
Pringgodani, melainkan salah satu leluhur yang dulu hidup di situ. Tampaknya, nama Pringgodani dipilih untuk
menyimbolkan pertapan itu sebagai salah satu tempat pendadaran walau tak
terkait langsung dengan energi tokoh pewayangan. Akhir kata, siapapun yang hendak tirtayatra
ke sini, semoga bisa eling lan waspada, agar tak keliru jalur. Karena, di balik yang positif, bersembunyi
yang negatif. Yang tertarik oleh diri
kita, adalah yang sesuai dengan kondisi kejiwaan kita. Jadi, pastikan jiwa Anda menjadi penarik
energi positif...
Dari Munggur hingga
Maospati
Malam setelah berkelana ke Pertapan Pringgodani, saya
kembali bertemu Mas Dipastraya dan poro sederek, lalu tengah malamnya
menjalankan upacara sucen di Sendang Dawe.
Tuntas upacara tersebut, kami singgah sebentar di rumah Mas Marjoko di
Munggur, menunggu waktu datangnya pukul 03.00.
Tepat pada jam itu, saya mengikuti Mas Dipastraya, berjalan (tapi pakai
mobil) ke arah Jawa Timur melalui Tawangmangu.
Saya punya perasaan, akan mendapatkan banyak pelajaran dari perjalanan
ini.
Dan benarlah perasaan saya.
Ternyata, Mas Dipastraya mengajak saya menyusuri jejak-jejak Prabu
Brawijaya V ketika menjelang kamuksan di Gunung Lawu. Ada beberapa titik di sekitar Gunung Lawu
yang dilalui Prabu Brawijaya V, selain Selo Pancer yang pernah saya paparkan di
tulisan terdahulu. Malam itu, yang kami
lewati adalah Kedung Bunder, yang tak jauh dari Cemara Sewu. Di situlah Prabu Brawijaya V pernah membasuh
diri. Setelah itu, terdapat Telaga
Sarangan, yang memiliki pulau kecil di tengah-tengah, dan menjadi petilasan
Begawan Putri Aking atau Gusti Ayu Werdiningsih.
Saat kami tiba, fajar sudah menjelang, waktu menunjukkan
pukul 04.30. Kami mencari tukang perahu
yang sudah bangun untuk bisa menyeberang ke pulau di tengah telaga. Setelah beberapa saat mencari, akhirnya kami
dapatkan tukang perahu itu. Kamipun
menaiki perahu itu, tepatnya kapal boat, dan meluncur menyibak air telaga. Awalnya, kami diajak menyisiri tepian telaga,
berkeliling, sebelum kemudian mendekati pulau dimaksud. Tapi, sayang sekali, ternyata, begitu sudah
mendekat, sang tukang perahu tak berani menyandarkan kapalnya. Ia rupanya tidak berani masuk ke pulau itu
sebelum matahari terbit. Walau Mas
Dipastraya terbiasa ke situ, ia tak mau memaksa sang tukang perahu yang
ragu-ragu karena rasa takut. Pulau di
tengah Telaga Sarangan, memang terbilang wingit. Secara fisik, pulau itu walau kecil memang
mencerminkan hutan yang masih murni jarang dijamah. Sehingga masih dihuni binatang buas,
khususnya ular. Maka, batallah kami ke
pulau itu, dan memutuskan untuk manembah ke pepunden yang ada di tepian telaga:
Pepunden Eyang Jalilung, ayah dari Gusti Ayu Werdiningsih.
Di Pepunden Eyang Jalilung, Mas Dipa memanggalai proses
manembah, menghaturkan sungkem sembah bekti kepada Eyang Jalilung, Begawan
Putri Aking, juga tokoh yang mbahurekso di kawasan tersebut, Eyang Moromulya
atau disebut juga Begawan Sarangsari atau Eyang Denggung. Saat kendran
(perjalanan prihatin setelah lengser keprabon akibat pemberontakan
Demak) dulu, Prabu Brawijaya V, coba menemui Begawan Putri Aking yang masih
terbilang kerabatnya.
Manembah tatkala fajar di tepian Telaga Sarangan, lalu
menyaksikan panorama Telaga Sarangan yang teramat indah, sungguh menjadi
pengalaman berharga, mengesankan, tak terlupakan.....
Tuntas dari manembah di situ, kami melanjutkan perjalanan,
menuju arah Maospati. Di Maospati,
awalnya kami ke Candi Sadon. Sayang
sekali, walau kuncen sudah ditelpon dan berjanji datang, ia tak datang dan kami
tak bisa masuk. Kamipun melanjutkan perjalanan,
ke Pesarean Ki Nantang Yudha, senopati Mataram saat menaklukkan Madiun. Ki Nantang Yudha, walau merupakan senopati
Mataram, sangat dihormati di Maospati yang dahulunya merupakan tanah perdikan,
tidak berada di bawah Mataram maupun Madiun.
Itu terjadi, karena beliau memiliki sifat-sifat utama, teguh membela
kebenaran, dan setia pada tugas yang diberikan negara.
Pesarean ini, sangat menyenangkan untuk menjadi tempat
manembah. Hawanya adem. Pesarean Ki Nantang Yudha dinaungi pohon
beringin berusia tua, dan tak jauh dari situ, terdapat pohon asem. Pesarean ini menyimpan energi besar, sehingga
pesawat tak boleh melintas di atasnya karena bisa terjatuh.
Bagi saya sendiri, kedatangan ke pesarean ini, merupakan
bagian dari laku untuk mengungkap jatidiri.
Ki Nantang Yudha adalah tokoh yang ketitisan Sang Hyang Betara Wisnu
sehingga ketika hidup memang bisa menampilkan sikap utama dan kewelasasihan
yang total. Maka, siapapun yang ingin
mengungkap penitisan pada dirinya – mengungkap benar tidaknya, apakah ketitisan
leluhur atau hanya dijangkungi leluhur, dan jika ketitisan apa tujuannya -,
bisa nyuwun pangestu pada beliau.
Kunjungan pertama ini menjadi semacam upaya menjalin komunikasi awal,
yang harus ditindaklanjuti dengan komunikasi berikutnya walau tak harus datang
ke pesarean tersebut.
Demikianlah, perjalanan dari Munggur hingga Maospati,
melewati tepian Gunung Lawu yang hutannya masih rimbun dan alami, memberi saya
banyak pelajaran baru. Salah satu
kesadaran yang muncul setelah perjalanan ini, adalah bahwa kita mesti
mengkoreksi sejarah yang diwartakan Serat Darmogandul karya Ki Kalamwadi. Serat tersebut memang menggugah semangat
manusia Nusantara untuk kembali kepada jatidiri budaya. Tapi, sekaligus memuat beberapa info yang
kurang pas, salah satunya terkait dengan masuk Islamnya Prabu Brawijaya V. Melihat bagaimana perjalanan Prabu Brawijaya
V ke berbagai pepunden di sekitar Gunung Lawu hingga kamuksan di Gunung Lawu,
lebih tepat jika dikatakan beliau tetap ngugemi agama lama.
Duh Gusti..matur sembah nuwun kulo sampun pikantuk katah woronugroho....
Menjemput Purnama di
Pajajar
Sepulang perjalanan ke Timur, saya memulai hari-hari berada
di rumah. Bercengkerama dengan anak dan
istri, dan mengerjakan berbagai tugas, terkait dengan pekerjaan untuk menyambung
hidup. Namun, ketika saya menyadari
purnama segera menjelang, saya ingin mengalaminya di patirtan yang
eksotik. Maka, saya tekadkan untuk
menjemput purnama di Situs Pajajar, di Rajagaluh, yang memiliki telaga dan mata
air yang sangat asyik untuk berendam.
Hari itu hari Jumat, setelah selesai rapat di salah satu
kantor tempat saya bekerja paruh waktu, saya meluncur ke Situs Pajajar. Saya tiba di situs itu ketika hari telah
memasuki malam: dari Terminal Rajagaluh, kita menyusuri jalan menanjak, yang
berkelak-kelok, dan tentu saja, banyak
kawasan yang gelap pekat karena tak ada lampu listrik. Di beberapa tempat menjelang situs tersebut,
kita bisa menemukan gerumbul pepohonan tua, yang menarik rasa kita untuk menyapa
karena ada energi khusus di sana.
Situs Pajajar merupakan peninggalan Kraton Pajajaran, dan
disana jumeneng Eyang Prabu Siliwangi dan para karuhun tatar Sunda. Di samping terdapat kolam dengan mata air
yang sangat jernih untuk tempat berendam, di situ juga ada pepunden berupa batu
besar berwarna hitam, yang sebagian tubuhnya terpendam oleh tanah kaki Gunung Ciremai. Di sekitar telaga dan kolam, tumbuh
pohon-pohon berukuran besar dan rimbun.
Itu membuat suasana di situs tersebut sangat mempesona jiwa, apalagi
saat itu sedang purnama.
Di pepunden, saya manembah kepada Tuhan dan menghaturkan
sungkem sembah bekti pada karuhun, dengan menghaturkan sesaji kembang telon dan
dupa wangi. Setelah itu, saya berendam
di kolam yang dekat dengan mata air: sunguh nikmat, malam-malam menikmati
dinginnya air jernih di kaki Gunung Ciremai, sembari disepuh rona purnama. Saya berendam sesuai tatacara yang diajarkan
guru saya, agar memberi dampak penyerapan energi dan pembersihan diri yang
efektif.
Catatan Akhir:
Intensitas Tirtayatra
Tirtayatra, atau perjalanan ke patirtan/pepunden/petilasan
leluhur, adalah sebuah laku penting bagi spiritualis Jawa. Itu adalah jembatan untuk menggapai
keselarasan diri dengan semesta dan segenap unsurnya (manunggaling jagad alit
lan jagad ageng). Saya sendiri, seperti
dimudahkan untuk terus menerus bertirtayatra.
Dan bagi saya, ini adalah sebuah anugerah, karena itu mendukung upaya
saya menggapai tataran keilmuan yang lebih sempurna. Bagi mereka yang tidak punya waktu terlalu
luang, mungkin sulit untuk intensif bertirtayatra. Tapi, jika saya boleh menyarankan, ambillah
waktu saat libur kerja, untuk melaksanakan kegiatan tersebut, karena prosesi
tirtayatra mirip dengan men-charge
diri kita dengan energi baru.
Guru saya sendiri, memiliki intensitas tirtayatra yang jauh
lebih tinggi. Beliau merasa perlu untuk
terus mengasah diri, sekaligus punya missi memastikan berbagai pepunden Jawa tetap hidup dan tidak
disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu.
Dan dengan melakukan itu, kehidupannya tak lantas amburadul. Sebaliknya, guru saya memberi contoh hidup
yang berkelimpahan, dengan keluarga yang ayem tentrem, dan berbagai kondisi
ideal lainnya.
Terakhir, saya ingin mengatakan, bahwa mengiringi proses
tirtayatra, tentu saja kita harus terus membangun sikap hidup atas dasar sikap
eling lan waspada dalam kehidupan sehari-hari.
Kita harus bisa menterjemahkan pesan-pesan dan pencerahan yang diterima
saat tirtayatra dalam kehidupan sehari-hari.
Hanya dengan demikian, kita layak disebut sebagai spiritualis
sejati.....
Sampai berjumpa dalam kesempatan selanjutnya. Rahayu sagung dumadi....
nuwun sewu tirta perwitasari ingkang kaping enem napa dereng diupload, nggih. njur demen maos blog niki soalipun kangge ngancani novel2 ingkang sampun kula gadahi. mugi2 sadaya script kados lontar inggih dipun uri2 kaliyan being digitally, dene panggenan, kedah dipun enviro tourism, senaosa njenengan blogging kemawon ning saged dados reference. JAS MERAH. lha raosipun historical paralelism amargi mpun compile tulisan sampun atusan pages.dipun tambahin foto lokasi nggih......tarema kaseh wan pian sabarataan
ReplyDeleteRahayu... Nyuwun pirso. Kulo sampun menghubungi pengasuh blog namung tlp mboten saget dihubungi. Kepareng kulo nyuwun contact person ingkang saget dihubungi. Mniko alamat email kulo : ndalemgondokusuman@gmail.com
ReplyDelete