MOMEN TITIK BALIK (4)



Napak Tilas Lanjutan
Mengikuti saran Kyai Makmuri, ada dua tempat lagi yang harus kuziarahi. Yaitu Makam Gunung Pring di Muntilan, dan petilasan Syeikh Subakir di Gunung Tidar, di Kota Magelang. Kulaksanakan saran itu. Setelah semalam beristirahat, pagi hari aku menuju Gunung Tidar. Kumasuki hutan pinus di gunung itu. Menapaki jalan bebatuan yang terus naik ke atas. Tak lama, sampailah aku di petilasan Syeikh Subakir, dan akupun bertemu dengan kuncen di situ, bernama Pak Tri. Setelah ngobrol sejenak, Pak Tri menyarankan agar aku kembali lagi tengah malam. Ia berjanji akan membagi beberapa kisah penting. Kuterima tawarannya.

Setelah istirahat di siang hari, menjelang tengah malam aku kembali ke Gunung Tidar. Suasana sungguh sunyi. Hanya ada angin berdesau, dan sesekali suara binatang menjerit. Langit sedang pekat, nyaris tanpa bintang. Aku harus mengumpulkan semua keberanianku untuk melakukan hal ini. Aku sebenarnya penakut, jika berada di tempat gelap dan sunyi. Tapi, karena sudah kadung berjanji, kutekadkan bahwa aku harus kembali menaiki Gunung Tidar dan mencapai petilasan Syeikh Subakir. Hatiku, sejujurnya agak berdebar-debar. Bahkan rasanya ada sedit keringat dingin, reaksi spontan tubuh karena merespon rasa takut. Setelah berjuang cukup keras menaklukkan rasa takutku, akhirnya sampai juga aku di petilasan Syeikh Subakir, yang entah kenapa, justru berbentuk makam. Padahal, jelas itu bukan makam Syeikh Subakir, karena sejarah mencatat beliau pulang kembali ke Persia. Ada lampu teplok yang menerangi petilasan itu. Tapi, ternyata Pak Tri, kuncen yang berjanji menunggu di situ malah tak ada. Apa boleh buat, tidak lucu jika aku kembali tanpa hasil. Maka, kuputuskan untuk duduk di situ dan mulai wirid, membaca beberapa kalimat berbahasa Arab.

Perlahan namun pasti, aku mulai fokus pada wiridku. Rasa takut yang semula mencengkeram, mulai lenyap. Berbagai bayangan buruk yang mengganggu, juga mulai mundur. Tiba-tiba, muncul suasana kejiwaan yang baru: aku merasa berani! Tak ada lagi yang pelu kutakuti, kalau itu berkenaan dengan makhluk bernama setan, genderuwo dan semacamnya. Tanpa kusadari bagaimana prosesnya, keberanian itu memang muncul di hatiku, dan berpengaruh terhadap sikapku. Semula aku tidak berani menatap kegelapan di sekeliling. Tapi, saat itu aku mulai berani menatap kegelapan di sekeliling itu dengan pandangan mata tajam. Kurang lebih, aku ingin mengatakan, kalau mau menggangu, mari kuhadapi. Ternyata tak ada apa-apa.

Setelah menuntaskan wirid, dan ternyata Pak Tri sang kuncen itu tak kunjung datang, akhirnya kuputuskan untuk turun dari petilasan itu. Kali ini, dengan pembawaan yang berbeda: aku melangkah turun dengan tegap, percaya diri. Malam, gelap yang pekat, bukan lagi sesuatu yang membuat hatiku jadi ciut! Aku sendiri tak paham bagaimana mesti menjelaskan perubahan suasana kejiwaan seperti itu. Mungkin, ada sejumput energi dari masa lalu yang memasuki ragaku dan menguatkanku.

Ditinjau dari segi kesejarahan, nama Syeikh Subakir memang tak bisa dilepaskan dari perintisan upaya penyebaran agama Islam di Tanah Jawa. Bisa dibilang, dia adalah salah satu pendakwah paling awal di Tanah Jawa. Yang menarik untuk dicatat, adalah bahwa kehadiran dan kiprah Syeikh Subakir ini, dihubung-hubungkan dengan Dang Hyang Ismaya sang penguasa makhluk halus di Tanah Jawa, yang makam atau petilasannya juga ada di Gunung Tidar, tak jauh dari petilasan Syeikh Subakir. Konon, ada perjanjian penting antara Syeikh Subakir dan Dang Hyang Ismaya: Dang Hyang Ismaya merestui dakwah Syeikh Subakir, asal ajaran yang didakwahkan itu tidak bertentangan dengan tradisi luhur yang sudah ada di Tanah Jawa. Kearifan lokal yang telah tertanam di Tanah Jawa ini tidak boleh sirna oleh kehadiran agama baru. Hanya dengan demikian, maka para makhluk halus di Tanah Jawa akan berhenti mengganggu Syeikh Subakir dan pengikutnya. Dan Syeikh Subakirpun menyetujui hal itu, sehingga gangguan para makhluk halus di Tanah Jawapun bisa dinetralisir, dan dakwah Islam bisa dijalankan.

Demikianlah, malam itu aku tak jadi menghabiskan waktu di petilasan Syeikh Subakir. Aku sudah merasa cukup, dan membawa pulang rasa berani yang tertanam di dalam hati, khususnya rasa berani jika harus berhadapan dengan berbagai jenis makhluk yang muncul dari tabir kegelapan malam. Aku memilih untuk menghabiskan malam di Masjid Kauman, di pusat kota, setelah sebelumnya nongkrong di gerobak angkringan sambil ngobrol dengan penjualnya, di alun-alun Kota Magelang.

Pada keesokan harinya, aku menjalankan ziarah terakhir, ke Makam Gunung Pring. Ada banyak tokoh yang dimakamkan di sini. Mereka adalah para bangsawan dan para kyai, anak keturunan raja-raja Majapahit yang memeluk Islam, dan menjadi leluhur Kyai Munawir, pendiri Pesantren Krapyak di Jogjakarta. Tak banyak yang kuceritakan, kecuali bahwa di tempat ini aku sekali lagi menikmati eksotika memasuki dan menjemput masa lalu. Seberkas terang dan sejumput energi seolah masuk ke dalam ragaku, dan membuatku kian siap menyambut masa depan yang lebih gemilang.


Akhir Yang Bahagia
Delapan hari kutinggalkan anak istriku, mengembara mencari setitik rahasia kehidupan. Istriku sempat sakit keras saat kutinggal, tapi pertolongan Tuhan hadir dengan berbagai cara, hingga sakitnya itu tertangani. Saat aku sebagai suaminya tak ada, para tetanggalah yang memberi pertolongan. Kepulanganku disambut gembira. Aku sendiri meyakini bahwa pilihanku meninggalkan keluargaku sejenak memang tepat. Itu telah memberi pelajaran berharga, baik bagi diriku sendiri, maupun bagi istriku.

Faktanya, pengembaraan selama 8 hari itu yang menjadi semacam titik balik kehidupanku. Makna simboliknya adalah bahwa seseorang baru bisa merasakan hidup yang penuh berkah dan kedamaian, manakala ia telah terhubung dengan masa lalunya dan menemukan jatidirinya. Itu yang terjadi pada diriku. Sejak saat itu, diriku mengalami transformasi secara intelektual dan ruhani. Dan itu ternyata berimbas pada karier, pergaulan sosial, maupun kehidupan keluarga.

Fajar mulai menyingsing dalam hidupku. Awan pekat yang memayungi perlahan-lahan sirna. Beban berat rasanya mulai terangkat. Rumah yang semula bagai penjara dan neraka, kini bagiku adalah surga. Kunikmati keberadaanku di rumah, di rumahlah aku menemukan kepuasan bathin dan cinta kasih terdalam. Hubunganku dengan istri yang semula bagai anjing dan kucing karena selalu diisi pertengkaran, kini telah bertransformasi menjadi hubungan penuh cinta yang saling menguatkan.

Jika kulihat lagi perjalanan hidupku, semenjak kanak-kanak hingga saat ini, tak ada kata lain yang bisa kuucapkan selain kata syukur. Apa yang selama ini kualami sungguh merupakan anugerah. Terangnya anugerah, demikian juga gelapnya.

Tahun 2008, sekali lagi, adalah tahun yang bisa dibilang paling penting dalam hidupku, karena pada tahun inilah, hadir satu momen yang membuat dirikuu mulai tersambung dengan masa lalu. Aku mulai bisa menguak jatidiri, menemukan siapa sesungguhnya diriku. Sebelumnya, bisa dibilang aku adalah sosok yang kehilangan jatidiri, terombang kesana kemari. Beberapa kegemilangan yang pernah kuraih, dalam kondisi itu, menjadi tidak kokoh karena ia berdiri di atas fondasi yang rapuh.

Lalu, apa yang kumaksud dengan jatidiri, yang pada kasusku menjadi demikian penting itu? Bagiku, salah satu dimensi dari jatidiri adalah akar budaya: seseorang selalu punya akar tradisi, falsafah, cara hidup, yang memandunya dalam berpikir, bertindak, melangkah. Sebagai manusia yang lahir di Tanah Jawa, dari keluarga Jawa, maka akar budayaku itu tentu saja budaya Jawa. Budaya Jawalah adalah perekat manusia Jawa dengan semesta di mana mereka hidup. Itulah yang membuat manusia Jawa bisa hidup dalam harmoni, selaras, dengan langit, dengan tanah yang mereka pijak, dengan Ibu Pertiwi, dan para leluhur yang sesungguhnya senantiasa hadir bersama kita walau tak bisa kita lihat dengan mata biasa.

Ketika seorang manusia Jawa terputus dari akar budaya itu, jelas ia akan terpisah pula dengan semesta di mana dia hidup. Ia tak akan lagi hidup selaras dengan alam, karena perekatnya tak ada. Pada skala individu, ketidakselarasan itu ditandai dengan kehidupan yang jauh dari kedamaian dan berkah. Segala sesuatunya seperti menjadi serba salah, serba sulit, hidup menjadi penuh prahara. Pada skala komunitas, itu mewujud dalam kehidupan sosial yang senantiasa penuh gonjang ganjing, dan diwarnai dengan bencana tak berkesudahan.

Saat ini, seiring dengan kesadaran baru yang telah muncul di dalam diri, saya mulai menata hidup dengan lebih mantap. Visi besar telah saya canangkan, agar hidup ini benar-benar bermakna. Harapanku adalah, bahwa ketika kelak sukmaku berpisah dengan raga, aku bisa berkata kepada Gusti Allah Ingkang Akaryo Dumadi, bahwa aku telah memberikan yang terbaik dalam hidupku, sebagai pertanggungjawaban atas segenap anugerah-Nya yang tak pernah putus untukku.

Aku sendiri, telah menemukan makna terdalam dari semua peristiwa dalam hidupku, termasuk pahit getir yang sekian lama kurasakan. Makna yang kutangkap itu persis seperti yang disampaikan oleh kerabat dan salah satu guruku, Kang Sabdalangit: “Kadang maksud suatu peristiwa sulit dipahami. Sekarang panjenengan tahu maksudnya kenapa dulu terjadi peristiwa tidak mengenakkan. Ternyata panjenengan sedang menjalani laku DUWE RASA ORA DUWE RASA DUWE, dan secara perlahan saat ini mulai tampak hasilnya. Lama kelamaan suket godhong akan dadi rewang. Semua kepahitan itu hanyalah untuk menggiring panjenengan agar menjalani sebuah perjalanan spiritual dengan laku prihatin, napak tilas, berbakti kepada para leluhur, sebagai wujud memahami SANGKAN PARANING DUMADI. Perjalanan tersebut merupakan syarat utama bilamana seseorang akan mendapat anugrah agung. Seseorang itu harus berbakti kepada orang tua dan para leluhurnya, barulah pintu kemudahan, berkah, rejeki menjadi terbuka lebar.”

Kini, aku bersiap menyongsong kehidupan sejati, yang penuh berkah dan damai. Kusajikan dalam buku ini, butir-butir pencerahan yang kudapatkan pasca pengembaraanku selama 8 hari itu, setelah aku mulai intensif mendengarkan suara hatiku, sabda Sukma Sejatiku. Kuajak para pembaca, pada kesejatian, keberkahan dan kedamaian itu, yang kini telah mulai kurasakan. Selamat membaca. Rahayu!

2 Responses to "MOMEN TITIK BALIK (4)"

  1. Trimakasih saudaraku...Artikel Ini menjadi pengingat Terbesar atas kekhilafanku...dmana dulu sya adalah pengembara spiritual,,namun setelah saya mendapatkan Anugerah Agung dan karunia Tuhan..sya menjadi lupa dengan semua laku..termasuk lupa sowan dengan para leluhur..Dan Tuhan mengambil kembali semua anugerah itu

    ReplyDelete
  2. Trimakasih saudaraku...Artikel Ini menjadi pengingat Terbesar atas kekhilafanku...dmana dulu sya adalah pengembara spiritual,,namun setelah saya mendapatkan Anugerah Agung dan karunia Tuhan..sya menjadi lupa dengan semua laku..termasuk lupa sowan dengan para leluhur..Dan Tuhan mengambil kembali semua anugerah

    MUgi Rahayu sagungin Dumadi..

    ReplyDelete



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan