Namun, sejujurnya saya malah menjadi geli sendiri. Realitasnya adalah, semakin saya banyak
belajar, semakin saya sadar bahwa teramat sedikit yang saya mengerti tentang
hidup ini. Alih-alih makin menguasai
samudera pengetahuan, saya kian tersadarkan bahwa samudera pengetahuan tersebut
luas membentang tanpa batasan, dan pengetahuan saya saat ini, tak lebih dari
setetes air dari samudera itu. Di atas
langit ada langit, demikian orang-orang bijak mengingatkan. Demikianlah, dalam hal ngangsu kaweruh atau pembelajaran, begitu satu tataran keilmuan di
dapat, kita langsung sadar, ada lapis tak terbatas di atas tataran itu yang
kita belum mengerti.
Dahaga akan kaweruh atau
pengetahuan, menjadi tak pernah pudar bahkan terus menguat seiring makin banyak
saya belajar. Sesepuh Jawa telah berbicara
tentang metode meraih pengetahuan: ngelmu
kelakone kanti laku. Pengetahuan,
kebijaksanaan, adalah buah dari tindakan, dari mengalami hidup. Setiap momen kehidupan, adalah kitab teles, atau teks pembelajaran hidup dan
menawarkan kesadaran-kesadaran baru bagi siapapun yang mau merenung dan
mengambil pembelajaran. Maka, sayapun
makin bersemangat untuk nglakoni
hidup, mencoba berbagai kemungkinan dalam hidup, menjalankan berbagai percobaan
untuk menguji kebenaran konsep-konsep yang ada dalam benak saya. Rangkaian dari semua itulah yang kemudian
saya sebut sebagai perjalanan spiritual.
Suka dan duka, manis ataupun getirnya kehidupan, akhirnya saya sadari
sebagai kesempatan untuk mengalami hidup secara utuh, dan itu membuat wawasan
terhadap hidup menjadi lebih akurat.
Memasuki wilayah kehidupan yang dinyatakan orang sebagai wilayah gelap,
saya sadari sama pentingnya dengan memasuki
kehidupan penuh cahaya. Kedua
sisi hidup itulah yang membuat kita bisa mengenal hidup dan diri kita apa
adanya. Menjadi spiritualis, pada
akhirnya saya pahami tidak identik dengan menjadi orang baik atau orang suci
dalam pandangan banyak orang. Tapi, ia
adalah proses menjadi orang yang sadar dalam setiap kondisi kehidupan. Seorang spiritualis adalah mereka yang berkesadaran,
mereka yang bangun dan awas, dan bertindak berdasarkan kesadaran tersebut. Maka, yang membedakan seorang spiritualis
dengan bukan spiritualis, bukanlah pada tindakan praktisnya, tapi pada apa
dasar dan sifat dari tindakan praktis tersebut.
Perjalanan spiritual yang sesungguhnya, adalah meniti setiap detik
kehidupan dan terus menerus menumbuhkan kesadaran sehingga kita mengerti akan
kasunyatan, kenyataan, tentang diri kita sendiri maupun hidup yang melingkupi
kita. Ia adalah proses panjang untuk
keluar dari perangkap ilusi yang salah satu bentuknya adalah konsep dan keyakinan yang memenuhi pikiran
kita. Gambarannya begini: jika di
hadapan kita ada setangkai mawar, kita punya dua pilihan sikap. Sikap pertama, kita mempersepsi mawar itu
berdasarkan informasi yang disampaikan orang lain kepada kita – yang kemudian
menjadi sistem keyakinan kita, tanpa mencoba masuk ke dalam kenyataan tentang
mawar itu sendiri. Kita sibuk dengan
konsep dan iman yang telah kita punya dan malah lupa menikmati mawar itu apa
adanya. Sikap kedua, berkeksperimen
dengan mawar itu, melihatnya langsung, menyentuhnya, mencium harumnya, sehingga
kita memahami mawar itu apa adanya berdasarkan pengalaman kita sendiri. Dan sebagai hasilnya, kita sadar akan mawar
itu! Menjadi spiritualis, adalah
mengembangkan sikap kedua: kita berani bereksperimen dalam dan tentang hidup,
sehingga memahami hidup apa adanya: kita menjadi manusia berkesadaran!
Orientasi Perjalanan
Spiritual
Dalam satu pengelanaan, saya berkesempatan berkunjung ke Pura
Mangening, Tampaksiring Bali, bersama dua sederek saya yang tinggal di Bali,
Mas Toni dan Bli Kadek Nick. Pura ini
adalah tempat yang indah, dengan lekak lekuk pura yang mengikuti kontur bukit,
dihiasi pepohonan yang rimbun, serta hamparan kolam dan air mancur di berbagai
sudut. Secara historis, diceritakan bahwa salah satu yang turut membangun pura
ini adalah Empu Kuturan, saudara dari Empu Baradah. Keduanya adalah Empu besar pada abad 11. Cerita lain, pura ini juga merupakan
petilasan dari Ki Ajar Sidalaku, salah satu guru dari Ranggawarsita, pujangga
Kraton Surakarta yang sumare di
Cawas, Klaten – yang makamnya pernah juga saya sowani. Setelah kungkum di salah satu kolam di
kawasan pura itu, saya duduk di atas satu batu besar, bermeditasi, memasuki
keheningan.
Dalam suasana hening dan damai, menyeruak satu suara tanpa rupa yang
mengarahkan saya untuk mengerti tentang sejatining
Urip. Saya coba mencerna semua itu,
dan membiarkan arahan itu mengkristal menjadi satu tekad. Ya, kita memang perlu punya sebuah tekad agar
bisa mengerti kesejatian berbagai hal tersebut agar hidup yang kita jalani
menjadi berarti. Apalah artinya hidup
yang panjang, jika itu semua berlalu hanya untuk makan, minum, bersenggama,
tanpa tumbuh kesadaran akan arti dari hidup itu sendiri. Sejauh saya mengerti, tanggung jawab menjadi
manusia, dan ini yang kemudian membedakan kita dengan hewan, adalah mencapai
PENCERAHAN, KESADARAN.
Gusti, Pribadi, Nusantara, Urip, adalah rangkaian kata perlu dimengerti
secara mendalam karena itu yang menjadi dasar tindakan yang bener dan pener sebagai manusia.
Gusti, dan Pribadi, adalah dua kata yang bisa dimengerti jika keduanya
ditempatkan sebagai satu kesatuan atau sebagai Realitas yang saling
berhubungan. Kita hanya bisa mengerti
Gusti melalui Pribadi, dan kita bisa mengerti Pribadi secara tepat jika kita
tahu hubungannya dengan Gusti.
Sejauh pengalaman saya, mengerti tentang Gusti hanya bisa digapai
melalui olah batin, dengan masuk ke dalam Pribadi kita sendiri. Sesepuh
Jawa bilang Gusti dumununge ing
Awake Dewe (Pribadi). Dengan
menyadari nafas atau aliran udara yang keluar masuk tubuh kita, kita bisa
sampai pada satu titik kesadaran: ada satu noktah yang menjadi pangkal, sebab
utama, ataupun intisari dari Pribadi yang Hidup. Pribadi kita, tak lain adalah manifestasi
dari satu Energi Paling Murni yang menjadi intisari dari hidup ini. Perenungan yang dilandaskan pada olah batin
kita sendiri, akan membawa kita pada kesadaran, bahwa Energi Paling Murni ini
adalah apa yang dipahami oleh para mistikus atau spiritualis sebagai Tuhan,
Yang Misteri, dan sebutan lain – yang Realitasnya adalah Kekosongan (Suwung)
yang Menghidupkan, Menggerakkan. Dalam
fisika kuantum, dinyatakan bahwa sejatinya materi dan energi tak terpisahkan:
ketika materi diurai, akan sampai pada elemen berupa energi yang keberadaannya
seperti tiada, disebut tiada tapi ada. Materi
adalah manifestasi dari Energi itu. Dan
energi itulah yang disebut Suwung: Realitas yang bisa disebutkan tetapi tak
bisa dinyatakan sosok partikularnya karena memang hanya bisa dipahami sebagai
Keberadaan Yang Utuh, Holistik, Serba Meliputi.
Gusti, adalah manifestasi pertama dan terhalus di dalam raga kita
masing-masing dari Keberadaan Yang Utuh, Holistik dan Serba Meliputi itu. Karena itulah, disebutkan bahwa setiap
manusia punya Gusti masing-masing. Yang
Misteri mengejawantah dalam “sosok” Gusti yang bisa dikenali oleh setiap
Pribadi. Pribadi itu sendiri, merupakan
pengejawantahan lebih lanjut dan kompleks dari Gusti. Jika kita menyadari Pribadi lapis demi lapis,
melampaui tirai demi tirai, sampailah kita pada Gusti, dan muncullah kesadaran
akan Realitas Tak Terjelaskan di balik itu semua.
Sang Pribadi, sebagai pengejawantahan dari Gusti, atau Realitas yang
Abadi itu, sejauh saya mengerti, telah mengalami perjalanan yang panjang, dari
satu rupa dan bentuk ke rupa dan bentuk lainnya. Sang Pribadi, telah melampaui
jaman demi jaman, hingga pada satu titik sekarang menjadi sosok yang dikenali
dengan nama dan atribut tertentu. Pada kasus
saya, Sang Pribadi inilah – setelah dibungkus atau memanifestasi lebih jauh
dalam sosok dengan badan ragawi - yang dikenal orang sebagai Setyo Hajar
Dewantoro, berusia 39 tahun, dengan perwatakan dan sifat-sifat khusus yang
dibentuk melalui formulasi yang rumit – melibatkan pengalaman hidup di masa
kini dan di masa lalu.
Lalu, hendak kemanakah Sang Pribadi ini melangkah dan menuju? Dari satu kehidupan ke kehidupan lainnya,
Sang Pribadi sesungguhnya telah banyak belajar, termasuk tentang kehidupan itu
sendiri dan tujuannya. Sayangnya, apa
yang sudah dipelajari itu – sebagiannya tersandikan dalam DNA kita – tidak
sepenuhnya kita sadari. Sehingga kita
seperti selalu mulai dari O. Lewat olah
bathin, kita sebetulnya sedang mengurai kode DNA kita dan membangkitkan kaweruh
yang terpendam, sembari mengakses sumber dari itu semua: Pusat Kesadaran dan
Kreativitas, di dalam lapis terdalam diri pribadi kita. Dengan cara demikian, kita tidak mulai dari
O: kita langsung berada pada satu tataran dengan potensi untuk terus menaik.
Sang Pribadi bergerak menuju Kasampurnan, satu Keadaan Murni, yang
disebut para mistikus dan spiritualis sebagai kembali ke Sangkan Paraning Dumadi.
Inilah keadaan kita unsur-unsur pembentuk raga kembali ke asalnya, dan
Sang Pribadi bisa memurnikan diri hingga pada titik melebur dengan asal dan
tujuannya. Kehidupan di muka bumi, atau
Urip, adalah proses natural yang harus kita alami manakala kita memang belum
sampai pada Keadaan Murni tersebut.
Urip, dengan segenap dinamikanya, adalah mekanisme yang menuntun kita
pada Kesadaran dan Kemurnian, hingga kita bisa pulang.
Demikianlah, bisa diurai kembali secara lebih ringkas: manusia, adalah
manifestasi dari Yang Misteri. Ia
disebut sebagai jagad alit, karena merupakan miniatur dari jagad ageng, yaitu
Semesta yang menjadi manifestasi tanpa batas dari Sang Misteri itu. Hidup manusia adalah sebuah proses untuk bisa
kembali: meleburkan diri dengan asal muasal kita, kembali pada Kemurnian. Dalam tradisi Jawa, inilah yang disebut
sebagai Kamuksan, tidak dalam pengertian sekadar langsung terurainya raga, tapi
juga keadaan ketika Sang Pribadi menjadi Murni: telah mengalami transformasi
sehingga mencerminkan sifat Gusti sepenuhnya.
Arti Hidup Ini
Saat kita keluar dari Gua Garba di dalam tubuh Ibu kita, dan mulai
meniti jalan kehidupan di muka bumi, saat itulah kita memulai sekolah kehidupan
sesuai tataran masing-masing. Tingkat
kedewasaan dan kesadaran dari setiap orang niscaya berbeda, sesuai dengan
perjalanan Pribadi bersangkutan yang disandikan oleh kode DNA masing-masing
orang. Maka, ada yang raganya muda tapi
jiwanya terkesan sepuh, demikian sebaliknya.
Ada yang mendekati kemurnian, ada yang masih demikian kasar terbalut dan
terlekati oleh berbagai unsur ragawi (yang mengejawantah dalam bentuk nafsu,
hasrat, rahsaning karep).
Kode DNA setiap orang, bisa dimengerti sebagai Cetak Biru Sang Pribadi
dalam kehidupannya di muka bumi ini.
Inilah yang sering disebut sebagai Takdir Terbaik yang perlu dijalani
oleh setiap orang. Tapi, kita ternyata
punya kesempatan untuk berjalan sesuai Cetak Biru ini, dan inilah yang disebut
sebagai Hidup Berkesadaran, sekaligus untuk mengingkarinya – dan kita menjalani
Hidup Tanpa Kesadaran. Sejauh saya
amati, sedikit sekali manusia yang sadar akan Cetak Biru ini. Tentu saja, pangkal dari ketidaksadaran ini
adalah ketika manusia tidak sadar akan Sejatinya Pribadi, termasuk Sejatinya
Gusti yang dumunung di badan
masing-masing. Ketidaksadaran ini bisa
jadi berakar pada pengabaian terhadap dimensi lain dari hidup kita di luar
keseharian yang kita jalani, bisa juga berakar pada belengu konsep, dogma,
iman, yang malah mengaburkan kasunyatan.
Setiap orang, sesuai sandi DNA masing-masing, memiliki tugas spesifik
dalam rangka menjalankan missi besarnya: hamemayu
hayuning bawana. Memahami tugas
spesifik ini, bisa dilakukan mulai dengan mengerti apa talenta kita. Salah satu cara menjalani hidup terbaik
adalah memberi kegunaan atau manfaat pada kehidupan mempergunakan talenta yang
kita punya. Contoh sederhana, salah satu
talenta saya adalah menulis: maka, saya memproduksi berbagai tulisan yang
berorientasi meningkatkan mutu kehidupan manusia. Ini cara saya untuk berkontribusi terhadap
kehidupan sesuai talenta saya.
Jika Anda punya talenta sebagai leader,
sepagai inisiator perubahan, tentunya itu layak dikembangkan. Apapun talenta Anda, itu perlu disadari dan
jadi cara untuk memberikan sumbangsih pada kehidupan.
Lebih lanjut, hidup sebagai satu sekolah atau padepokan sesungguhnya yang
berfungsi membawa kita pada satu kemajuan spiritual, perlu dijalani dengan jiwa
seorang pembelajar. Sesepuh kita
menyatakan soal ngelmu sastrajendra
hayuningrat: ini adalah satu metode untuk
belajar dari jagad gumelar termasuk
dengan menyelami diri pribadi sebagai miniatur dari jagad gumelar itu, hingga kita bisa ngaweruhi kesejatian. Pada
satu titik, ketika seseorang sudah sampai pada kesadaran akan kasunyatan ini,
ia akan merasa penuh, damai di dalam dirinya sendiri, dan pada titik itulah
benih cinta kasih akan tumbuh mekar.
Orang-orang yang seperti inilah yang kemudian bisa menjadi pangruwating diyu (peruwat, penakluk
keangkaramurkaan).
Dalam konteks sekolah kehidupan ini, sudah kelas berapakah saya? He, he, he, he...sejujurnya, saya sedang
mengevaluasi perjalanan pribadi saya.
Saya coba kilas balik ke masa silam, melihat apa yang sudah saya lakukan
dan alami. Saya juga menengok masa kini:
melihat secara apa adanya apa yang terjadi pada diri pribadi saya, hidup saya,
termasuk apa yang saya rasakan. Bertolak
dari itu semua, saya bisa memahami pencapaian saya: pada pelajaran tertentu
saya sudah ada pada tingkat lumayan tinggi, pada pelajaran lain saya tak lebih
sebagai pemula. Secara keseluruhan, saya
layak ditempatkan bersama dengan para pembelajar pemula, kalau dianalogikan
dengan strata dalam dunia pendidikan formal kita, ya setara dengan anak-anak
TK! Serius. Saya sadar, ada banyak orang dengan tingkat
kesadaran dan kebijaksanaan jauh lebih tinggi ketimbang saya. Dan dari merekalah saya belajar. Sebagaimana saya juga belajar dari semua
orang yang memiliki kebijaksanaan masing-masing sebagai buah pergulatan hidup
yang unik.
Lebih jauh tentang arti hidup, saya ingin membahas pengertian saya
tentang Sampurnaning Urip. Sampurnaning
Urip saya mengerti sebagai titik pencapaian ketika manusia telah sadar
secara utuh akan realitas pribadi dan hidup yang melingkupi pribadi, sembari
tuntas menjalankan tugas sesuai cetak birunya.
Dalam satu kontemplasi, saya menganalogikan setiap manusia sebagai
pelukis yang telah dibekali kuas dan cat, lalu di hadapannya dihamparkan kanvas
putih. Misi kita bisa dianggap tuntas,
jika kita sudah membuat lukisan sesuai dengan cetak biru atau rancangan yang
ada di dalam batin kita masing-masing.
Jenis, corak, bahka lebar kanvas dari masing-masing orang pastilah akan
berbeda. Maka, sikap bijak adalah
menyadari kriteria atau spesifikasi dari lukisan yang harus kita buat dan
berupaya menuntaskan itu. Mencela oran
lain karena lukisannya tidak seindah atau secanggih lukisan kita, adalah sikap
bodoh – apalagi jika kita sendiri tak mengerti proporsi untuk pribadi kita
sendiri.
Pentingnya Latihan Spiritual
Kenyataan hidup menunjukkan, ada orang-orang yang kita nilai telah
mengalami Pencerahan, sebagaimana ada orang-orang yang kita sebut tersesat atau
tenggelam dalam ilusi berkepanjangan.
Dalam pewayangan, ada sosok yang menggambarkan pribadi tercerahkan,
seperti Rama dan Kresna yang sama-sama merupakan titisan Betara Wisnu, lalu
Puntadewa (sosok tersuci dari Pandawa Lima yang disimbolkan berdarah putih),
Arjuna (yang mencapai pencerahan saat bertapa sebagai Begawan Mintaraga), juga
Bima (yang mencapai kesejatian setelah bertemu Dewa Ruci). Sebaliknya, kita mengenal sosok Rahwana dan
Duryudana simbol manusia yang mengedepankan angkara murka.
Entah dalam dunia nyata atau pewayangan, setiap pencerahan digapai
ketika seseorang menjalani laku tertentu.
Bertapa, adalah kata umum yang menggambarkan proses yang dijalani oleh
setiap orang yang hendak mencapai pencerahan.
Khazanah spiritualitas Jawa menyebutkan berbagai jenis tapa, mulai dari
tapa brata, tapa kungkum, tapa ngeli, dan lainnya. Satu hal yang esensial tentang tapa, bahwa ia merupakan satu proses khusus yang dijalani untuk masuk ke dalam keheningan dan
dari situ, kita bertemu Gusti masing-masing yang lalu membimbing kita untuk
mengerti kasunyatan.
Tapa sering digambarkan sebagai proses mengasingkan diri dari riuhnya
kehidupan dunia, entah ke gua tertentu, hutan tertentu, atau di padepokan
tertentu. Itu tidak keliru, karena
kenyataannya, menarik raga dari kehidupan dunia membuat kita lebih mudah masuk
pada kondisi hening dan wening. Dan
sebaiknyalah, setiap orang menyempatkan diri untuk melakukan tapa jenis ini:
membawa raga ke tempat berenergi murni, yang sunyi, lalu melakukan kontemplasi
yang serius tanpa diganggu hal-hal lain.
Tapi, tapa tak hanya bisa dilakukan dengan mengasingkan diri seperti
itu. Ia bisa dilakukan di rumah, di
manapun, tanpa menarik diri dari keseharian.
Ia bisa dilakukan dengan melakukan ritual khusus pada periode tertentu:
dan pada momen ini kita bermeditasi, masuk ke dalam hening, hingga pencerahan
hadir. Bisa juga, kita menjalankan tapa ngeli: mengalir bersama aliran hidup dan
mencoba sadar akan semua yang dialami.
Entah apapun yang kita lakukan, tapi kita tetap sadar dan terhubung
dengan Gusti atau Pusat Kesadaran Tertinggi di dalam raga kita masing-masing.
Apapun pilihan caranya, hal terpenting adalah kita dengan sadar melatih
diri, berkultivasi. Karena itulah yang
menjadi investasi kita agar bisa memetik pencerahan. Saya pribadi, menjalankan semua cara yang
mungkin saya lakukan. Ada kalanya saya
mengasingkan diri dengan berkontemplasi di tempat-tempat yang sunyi. Ada kalanya saya meluangkan waktu khusus
untuk bermeditasi. Dan di lain waktu,
saya cuma mencoba sadar akan semua dinamika hidup dan membiarkan kesadaran saya
tumbuh seiring waktu yang saya lewati.
Dinamika Jiwa
Wayang, adalah simbol perwatakan manusia yang ada di muka bumi. Saat yang sama, wayang juga menggambarkan
dinamika jiwa setiap manusia. Di dalam
pribadi kita ini, sejatinya ada semua gambaran dari wayang sekotak yang
dimainkan para dalang. Pribadi kita
adalah jagad yang merangkum keberadaan Rama sekaligus Rahwana, Anoman sekaligus
Sarpakenaka, Arjuna sekaligus Duryudana.
Sebagaimana hidup, pribadi kita memiliki sisi terang sekaligus
gelap. Itulah kenyataan diri apa adanya.
Pengalaman saya pribadi menunjukkan bahwa penting bagi kita untuk
menerima diri apa adanya, dan bukannya mengidealisasi diri yang malah tidak
sesuai kenyataan. Terkait hal ini,
terima saja jika pada suatu saat, di dalam jiwa kita muncul citra Rahwana. Dinamika tersebut cukup diikuti, dipelajari,
diamati, sembari tetap sadar akan segenap konsekuensinya. Jika gejolak Rahwana tersebut kita biarkan
mengejawantah dalam kehidupan nyata, dan lalu kita melakukan pelanggaran hukum,
tentu saja kita harus siap dengan konsekuensinya. Tapi, jika gejolak Rahwana tersebut bisa kita
kelola dan kita atur supaya mengejawantah dalam batasan yang aman (dari unsur
merugikan pihak lain dan delik hukum), itu lebih baik bagi kita.
Pada titik ini, saya agak berbeda dengan para moralis yang selalu
menganjurkan kita berbuat baik dan menghindari keburukan. Bagi saya, konsep baik dan buruk itu
subyektivitas masing-masing pribadi. Tak
ada baik dan buruk mutlak dalam satu tindakan.
Adalah penting bagi kita untuk melampaui konsep baik dan buruk, tapi
lebih berpegang pada kenyataan yaitu hukum sebab akibat dari tindakan. Sebuah tindakan, tanpa kita hakimi sebagai
baik dan buruk, kita lakukan atau kita tinggalkan semata-mata berdasarkan
kesadaran akan konsekuensi dari tindakan tersebut. Jika kita menyadari sebuah tindakan yang
menurut persepsi umum buruk, tetapi bagi kita itu memang perlu dilakukan karena
kita perlu belajar darinya, dengan konsekuensi yang dapat kita tanggung, ya
lakukan saja tanpa perlu merasa berdosa.
Dalam kesadaran saya, ada kalanya kita perlu memasuki sisi hidup yang
menurut persepsi umum sebagai kehidupan yang gelap. Karena itu adalah jalan kita menyadari sifat
pribadi kita maupun sifat hidup itu sendiri secara apa adanya. Yang terpenting adalah semua dijalani dengan
sadar, termasuk sadar akan konsekuensi dari apa yang kita pilih. Dan sikap bijak adalah melakukan tindakan
yang konsekuensinya masih dalam batas yang bisa kita tanggung.
Tentang Nusantara
Bukan sebuah kebetulan jika saya lahir dan hidup di belahan bumi yang
disebut Nusantara. Ini adalah bagian
dari jalan darma dan lingkaran karma yang harus saya jalani. Meditasi yang saya jalani di Pura Mangening
Tampaksiring, menyadarkan saya bahwa Nusantara adalah satu konsep spiritual
tentang bangsa dan peradaban yang harus dimengerti secara baik. Salah satu ciri khas Nusantara adalah
banyaknya tempat-tempat berenergi murni, dalam bentuk candi, petilasan, pura,
gua, kabuyutan, maupun hutan dan gunung.
Ada ribuan tempat berenergi murni yang menyebar di berbagai pelosok
Nusantara.
Kenyataan ini menggambarkan satu hal: Nusantara adalah tanah yang
diwariskan kepada kita oleh manusia-manusia berkesadaran spiritual tinggi. Kesadaran spiritua yang tinggi itulah yang
disandikan oleh berbagai candi, pura, kabuyutan dan sejenisnya. Dan yang diwariskan juga bukan sekadar tanah
itu, tetapi kebudayaan yang merupakan buah interaksi dari para leluhur di masa
lalu dengan tanah (baca: Ibu Pertiwi) di mana mereka hidup. Esensi dari kebudayaan yang diwariskan oleh
para leluhur ini adalah harmoni, keselarasan, antara manusia sebagai jagad alit dengan semesta sebagai jagad ageng. Menjadi manusia Nusantara berarti menjadi
manusia yang menghormati tanah yang dipijak, menghormati seluruh unsur jagad,
dalam bentuk hutan, sungai, gunung, termasuk semua titah urip yang ada di
dalamnya, yang katon maupun tidak katon oleh mata lahiriah.
Terkait dengan ini, dalam satu meditasi di satu tempuran sungai di Ubud
yang merupakan jejak atau petilasan Resi Markandeya, saya mendapatkan
kesadaran, bahwa Bali pada saat ini, adalah benteng kebudayaan Nusantara. Apa yang kita bisa lihat di Bali pada saat
ini, adalah gambaran dari Jawa di masa silam: itulah kebudayaan yang
menggambarkan harmoni manusia dengan semestanya, yang dimanifestasikan dalam
berbagai ritual, upacara adat, arsitektur rumah dan pura, seni lukis dan
patung, tari-tarian dan musik. Hidup,
sebagaimana dicapai oleh para leluhur Nusantara di masa lalu, adalah perayaan
keharmonisan dengan semesta. Tentu saja,
Bali sendiri tengah menghadapi dinamikanya sendiri, sehingga tak semua ideal
kebudayaannya dapat dijumpai dalam keseharian.
Tetapi dibandingkan berbagai kawasan lain di Nusantara, Bali adalah
gambaran yang paling ideal dari apa yang disebut dengan Nusantara. Bali adalah benteng kebudayaan Nusantara yang
harus dibela dengan cara apapun yang menunjukkan kehormatan kita sebagai satu bangsa!
Sudah sepatutnya, kita yang hidup di Jawa dan tempat-tempat lain di
Nusantara, menyadari realitas ini dan berupaya agar spirit Nusantara tetap
hidup dan mengejawantah (kembali) dalam tata kehidupan sehari-hari.
Hong wilaheng sekaring bawono
langgeng!
Terimakasih atas sumbangsih tulisannya, saya bisa mendapatkan pengetahuan dengan membaca gratis tulisan ini.. Lebih banyak menulis lagi dong...
ReplyDeleteI want you to thank for your time of this wonderful read!!! I definitely enjoy every little bit of it and I have you bookmarked to check out new stuff of your blog a must read blog. a course in miracles teacher
ReplyDelete