OLEH-OLEH NAPAK TILAS: MENYONGSONG JAMAN BARU NUSANTARA (IV)



NASIB AGAMA-AGAMA IMPORT



Revolusi kebudayaan yang terjadi di Jawa/Nusantara, jelas akan bersinggungan dengan agama-agama yang saat ini terlihat demikian dominan bahkan menjadi agama resmi negara. Revolusi kebudayaan yang hakikatnya adalah gerakan kembali ke asal, kembali ke jatidiri, jelas akan mengubah konstelasi umat beragama di Indonesia. Pada titik tertentu, manusia Jawa/Nusantara akan kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, dan hidup di atas landasan spiritualitas khas Jawa/Nusantara. Orang Jawa/Nusantara akan berganti ageman!



Mengapa hal demikian terjadi? Karena selama ini agama import tersebut telah dimanipulasi oleh sebagian pemuka/pemeluknya untuk menghegemoni Jawa/Nusantara demi mendapatkan kuasa politik dan manfaat ekonomi. Lebih dari itu, agama import itu telah membuat manusia Jawa/Nusantara tidak lagi berpegang pada kearifan lokal, bahkan banyak di antara manusia Jawa/Nusantara yang menistakan kearifan lokal karena dianggap melanggar ajaran Tuhan!



Limaratus tahun manusia Jawa/Nusantara dimabukkan oleh agama import, membuat mereka kehilangan hubungan yang harmonis dengan alam, dengan para sesepuh ingkang Mbahurekso, dengan Kanjeng Ratu Kidul pengayom Nusantara, juga dengan para leluhur gung binatoro. Itu yang menjadi penyebab munculnya berbagai bencana: manusia Jawa/Nusantara tertolak oleh tanah dan airnya sendiri!



Pertanyaannya, jika gerakan kembali ke asal dan jatidiri ini mulai mewujud sempurna, bagaimana dengan nasib agama-agama import? Semuanya tergantung dari apa yang dilakukan oleh para pemuka dan pemeluk agama-agama tersebut. Pada kasus agama Islam misalnya, semuanya tergantung pada pilihan yang diambil: bersediakah untuk memperbaiki segenap pelanggaran terhadap rambu-rambu yang dulu pernah diberikan oleh Dang Hyang Ismoyo kepada Syaih Subakir (Muhammad al Baqir), pendakwah Islam pertama asal Persia?



Gunung Tidar, di mana terdapat petilasan Syeikh Subakir dan Dang Hyang Ismoyo, semestinya menjadi pembangkit memori kaum Muslimin akan legenda masa lalu itu. Rambu-rambu yang diberikan kepada Syeikh Subakir adalah bahwa Islam boleh disebarkan di Tanah Jawa/Nusantara, dengan catatan tetap mempertahankan akar keyakinan dan budaya khas Jawa/Nusantara, serta mengayomi sistem keyakinan yang sudah ada. Faktanya, saat ini gerakan Islam fundamentalis menguat, pemurnian agama kian menjadi-jadi, sehingga Islamisasi (penegakan tatatan yang menyelamatkan) telah bergeser menjadi Arabisasi yang membuat manusia Jawa/Nusantara kehilangan jatidiri mereka. Itu yang membuat kekuatan yang bersemayam di Gunung Tidar menggugat, yang saat ini terwakili oleh Merapi, sebelum kelak Gunung Tidar akan beraksi sendiri.



Semestinya, manusia Muslim bisa tetap berdampingan secara harmonis dengan para penghuni alam ghaib: bangsa kajiman, kadawatan, dan lainnya, lebih khusus dengan para pengayom dan leluhur Nusantara yang berada pada dimensi lain tapi tetap berperan besar dalam kehidupan manusia Jawa/Nusantara. Tetapi, gerakan pemurnian Islam telah membuat sistem kebudayaan yang menjaga keselarasan manusia Jawa/Nusantara dengan para penghuni alam ghaib itu menjadi sesuatu yang nista karena diberi label musyrik, tahayul, bid’ah dan khurafat! Karena itulah, sudah sepatutnya berbagai elemen alam di Nusantara ini berontak, termasuk para penghuni alam ghaibnya. Saksikanlah apa yang terjadi dengan rumah-rumah/bangunan yang dilewati wedus gembel di sekitar Merapi, bukan hanya gosong tapi juga hancur seperti terinjak-injak. Siapakah yang berbuat demikian? Itu bukan hanya kerja si wedus gembel yang hanya memiliki daya panas, tapi juga adalah aksi dari penghuni alam ghaib Nusantara yang selama ini merasa tidak diperdulikan bahkan dilecehkan!



Jika agama Islam dan agama-agama import lainnya khususnya agama-agama dari rumpun Semitik ingin bisa bertahan di Nusantara, maka satu-satunya jalan adalah dengan kembali pada rambu-rambu yang sudah dibuat oleh Dang Hyang Ismoyo! Lebih dari itu, mereka harus mengikuti kebijaksanaan Nabi Sulaiman (King Solomon) yang bersifat mengayomi dan mampu membangun komunikasi harmonis tidak hanya kepada sesama manusia, tetapi juga kepada tumbuhan, binatang, dan para penghuni alam ghaib. Jika tidak, jangan salahkan siapapun jika agama-agama tersebut mengalami kiamat atau kehancuran akibat kehilangan pengikut dan tertolak oleh alam.



Jembatan penyelamat untuk agama-agama import adalah ajaran mistik dari agama-agama tersebut. Kedepankanlah aspek kebathinan, tasawuf atau gnostikisme, yang mengutaman kesatuan agama-agama, yang menyerukan persaudaraan universal, memberi ruang bagi eksperimen-eksperimen spritual, serta menghargai tradisi-tradisi lokal. Hanya dengan mempergunakan jembatan ini agama-agama import akan bertahan di Jawa/Nusantara. Ya, lampauilah syariat, lalu menukiklah pada hakikat, sehingga para pemeluk agama-agama import itu mengalami transformasi menjadi manusia-manusia yang berbudi luhur dan berkesadaran tinggi! Karena itulah yang akan menjadi peneguh keberadaan agama-agama import di Nusantara!
0 Response to "OLEH-OLEH NAPAK TILAS: MENYONGSONG JAMAN BARU NUSANTARA (IV)"

Post a Comment



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan