MEREGUK PESONA SPIRITUAL BUGIS



Akhir Januari 2011, saya berkesempatan menjejakkan kaki di Tlatah Sulawesi. Agenda resmi saya sebetulnya melakukan penelitian menyangkut pendidikan pesantren dalam kaitannya dengan pembentukan nilai-nilai kebangsaan. Namun, sudah saya niatkan, bahwa saya harus melakukan hal tambahan yang bisa memperkaya khazanah spiritual saya. Di satu sisi, saya memang sangat ingin menyambungkan rasa saya dengan para leluhur dan komunitas spiritual di Tlatah Sulawesi, sebagai bagian dari mengembangkan persaudaraan antar warga Nusantara – khususnya yang sama-sama punya gairah untuk melanggengkan tradisi spiritual Nusantara yang agung. Di sisi lain, saya memandang penting untuk bisa menyerap energi dari berbagai tempat di Nusantara yang bisa memperkuat diri saya – yang memungkinkan saya berbuat lebih banyak dan efektif untuk kepentingan sesama.



Saya awalnya tidak tahu sama sekali peta budaya spiritual di Sulawesi. Saya mendapatkan titik terang setelah saya menelusuri informasi via Google. Dari situ saya bertemu dua kata yang saya ingin lihat realitasnya di lapangan: Bissu, dan Komunitas Tolotang. Berbekal informasi itu, saya mencoba mencari jalan agar bisa bertemu dengan Bissu dan pimpinan Komunitas Tolotang.



Pucuk dicinta ulam tiba, di mana ada kemauan di situ ada jalan. Dari sahabat saya, Uki Marzuki, yang alumnus Pesantren Tebu Ireng, saya mendapatkan jalan untuk berkenalan dengan Taufiqurrohman, Pengasuh Pesantren Al-Fakhriyyah di Makasar yang juga alumnus Tebu Ireng. Olehnya, saya disambungkan dengan Mubarak Idrus, pengajar di Pesantren Al-Fakhriyah yang juga sama-sama alumnus Tebu Ireng sekaligus aktivis di LSM Lapar di Makasar. Dari Mubarak Idrus, saya mendapatkan nama Adi, aktivis Sekolah Demokrasi di Pangkep yang bisa saya jumpai dan membantu saya bertemu dengan Bissu di Pangkep.



Setelah menyelesaikan tugas penelitian di Makasar, saya menuju ke Pangkep sebelum melanjutkan perjalanan ke Sengkang. Di Pangkep, saya dimudahkan bertemu dengan Adi, karena setelah saya kontak via telepon, dia siap untuk menjemput saya begitu saya tiba di Pangkep. Namun, saya tak langsung bisa diantar bertemu Bissu. Untuk bertemu Bissu, saya harus dibuatkan jadwal dulu sesuai konfirmasi Bissu yang bersangkutan.



Oh ya, ngomong-ngomong, tahukah Anda Bissu itu apa? He, he, maaf, bagi yang belum tahu, ijinkan saya untuk menjelaskan bahwa Bissu adalah pendeta atau pemimpin spiritual Bugis kuno. Saat ini ada beberapa Bissu di Sulawesi Selatan, tapi yang dianggap paling senior atau paling mumpuni keilmuannya adalah Bissu Puang Matowa Saidi yang tinggal di Pangkep.



Bissu punya peran besar di awal pembentukan masyarakat Bugis. Keberadaan Bissu Berdasarkan sejarah manusia Bugis, Bissu dianggap sezaman dengan kelahiran suku Bugis itu sendiri. Ketika Batara Guru sebagai cikal bakal manusia Bugis dalam sure’La Galigo, turun ke bumi dari dunia atas ( botinglangik) dan bertemu dengan permaisurinya We Nyili Timo yang berasal dari dunia bawah (borikliung), bersamaan dengan itu turun pula seorang Bissu pertama bernama Lae-lae sebagai penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis tersebut. Menurut tutur lisan Hajji Baco’, seorang Bissu, Batara Guru yang ditugasi oleh Dewata mengatur bumi rupanya tidak punya kemampuan management yang handal, karenanya diperlukan bissu dari botinglangik untuk mengatur segala sesuatu mengenai kehidupan. Ketika Bissu ini turun ke bumi, maka terciptalah pranata-pranata masyarakat Bugis melalui daya kreasi mereka, menciptakan bahasa, budaya, adat istiadat dan semua hal yang diperlukan untuk menjalankan kehidupan di bumi.



Melalui perantara bissu inilah, para manusia biasa dapat berkomunikasi dengan para dewata yang bersemayam di langit.



Yang menarik dari seorang Bissu adalah bahwa ia dianggap menampung dua elemen gender manusia, lelaki dan perempuan ( hermaphroditic beings who embody female and male elements), juga mampu mengalami dua alam; alam makhluk dan alam roh (Spirit). Ketua para bissu adalah seorang yang bergelar Puang Matowa atau Puang Towa. Secara biologis, sekarang, bissu kebanyakan diperankan oleh laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan walau ada juga yang asli perempuan, yang biasanya dari kalangan bangsawan tinggi, walau tidak mudah membedakan mana bissu yang laki-laki dan mana bissu yang perempuan. Dalam kesehariannya, bissu berpenampilan layaknya perempuan dengan pakaian dan tata rias feminim, namun juga tetap membawa atribut maskulin, dengan membawa badik misalnya.



Dalam struktur budaya bugis, peran Bissu tergolong istimewa karena dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai satu-satunya operator komunikasi antara manusia dan dewa melalui upacara ritual tradisionalnya dengan menggunakan bahasa dewa/langit ( basa Torilangi), karenanya Bissu juga berperan sebagai penjaga tradisi tutur lisan sastra Bugis Kuno sure’ La Galigo. Apabila sure’ ini hendak dibacakan, maka sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanannya, orang menabuh gendang dengan irama tertentu dan membakar kemenyan. Setelah tabuhan gendang berhenti, tampillah Bissu mengucapkan pujaan dan meminta ampunan kepada dewa-dewa yang namanya akan disebut dalam pembacaan sure’ itu. Bissu juga berperan mengatur semua pelaksanaan upacara tradisional, seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan ( indo’ botting), kematian, pelepasan nazar, persembahan, tolak bala, dan lain-lain.



Demikianlah, saya dijanjikan oleh Adi untuk bisa bertemu Bissu beberapa hari lagi. Tepatnya, saya diminta menginformasikan kapan saya bisa selesai dari kerja penelitian di Wajo, dan saat itu dipertemukan dengan Bissu Puang Matowa Saidi.



Berdasarkan kesepakatan ini, berangkatlah saya ke Wajo, dengan hasrat yang sangat kuat bahwa pada akhirnya saya bisa bertemu dengan pemimpin spiritual Bugis itu.



Di Wajo, saya meneliti Pesantren As’adiyah. Tapi, saya juga ingin sekali bertemu dengan sesepuh komunitas Tolotang yang sejauh informasi awal yang saya terima, tempat tinggalnya di sekitar Wajo. Lagi-lagi saya beruntung, karena di Wajo saya bertemu dengan Abdul Malik, alumnus Pesantren As’adiyah yang kini menjadi dosen di STAIN Bone, dan pernah bersekolah di Madarasah Aliyah Putra Asadiyah di Macanang, bertetangga dengan komunitas Tolotang.



Komunitas Tolotang adalah para penganut ajaran spiritual asli Bugis. Menyangkut kaum Tolotang ini, ada paparan sejarah yang diungkap seorang pemilik akun di Facebook yang memilih nama Nurani Batara Guru sebagai berikut:



“Patau Mulajaji, Arung Peneki Arung Singkang. Beliau menerima Islam dan sebagai raja beliau menganjurkan seluruh Pabbanua untuk memeluk Islam pula. Salah satu Raja atau arung yaitu DatuToni (nama lengkapnya tdk ada sumber) dengan pengikutnya yang di sebut To Toni atau Pattotoni, masih enggan menerima Islam karena harus meninggalkan banyak tradisi yang tidak diperbolehkan lagi oleh Islam. Kelompok ini tinggal di sekitar Tanasitolo (dulu disebut Wajo Ri Aja), sekarang pusatnya di sebelah timur Ujunge Pajalele, situsnya di Bujung Lapalloro. Ajakan Armawa lasangkuru untuk memeluk Islam kepada kelompok ini terus menerus datang. Suatu ketika Datu Toni menyampaikan kepada seluruh pengikutnya bahwa dia akan mencari tahu apa itu Islam, apa benar ada atau tidak, kabarnya pusatnya di negeri Arab.



Sebelum berangkat, beliau memesankan kepada pengikutnya bahwa kalau beliau bertemu dan Islam benar benar ada maka beliau akan kembali untuk menyampaikan Islam tersebut atau kelau beliau tdk datang akan ada pemberitahuan beliau. Kalau tidak ada kabar, berarti Islam itu tidak ada. Lama kelamaan Beliau berangkat, ada yg berasumsi bahwa beliau sampai di Mekah tapi meninggal di sana. Semua pengiikutnya mengatakan bahwa Islam tidak ada karena baginda tdk pulang dan tidak kabar dari beliau. Suatu saat salah satu warga menimba air di Bujung lapalloro dan tiba tiba dalam timba ada badik Baginda Datu Toni (model badik = Cobo Sasa'), hal ini menjadi gempar sehingga sebagian beranggapan bahwa ini adalah kabar dari Baginda dan ini perintah untuk masuk islam dan sebagian pula beranggapan bahwa kalau bukan baginda yang pulang berarti tidak ada perintah untuk masuk Islam. kelompok yang yakin bahwa ini adalah kabar, masuk kota untuk bergabung dengan Islam dan sebagian yg tdk yakin tetap menganut kepercayaan lama. mendengar hal ini, Lasangkuru mengutus orang untuk memberikan pilihan kepada kelompok yang masih bertahan dengan adat lama.



Akhirnya yang masih menganut kepercayaan lama meninggalkan lokasi ini mencari tempat yng baru ke arah Utara, sampailah mereka di wilayah Raja Sidenreng yng juga sdh menganut Islam, akan tetapi mereka di berikan tanah baru di Bulu Lautang. AKhirnya mereka menetap di Bulu Lautang dan di gelari To Bulu Lautang atau Tolotang. Penjelasan saya bukan ingin mempertegas perbedaaan kepercayaan antara mereka dengan nenek moyang kita, akan tetapi saya ingin mempertegas bahwa Tolotang adalah keluarga, kerabat dan Saudara dengan Orang Wajo. Yang menjadi perhatian saya adalah Badik Cobo Sasa' ini masih di simpan oleh pemimpin mereka keturunan Datu Toni yng menjadi pemimpin Tolotang walaupun beliau adalah Orang Islam Polll. Saya pernah bertemu dengan salah satu keturunannya dan menjadi salah satu sumber cerita ini.”



Saat ini, mayoritas kaum Tolotang tinggal di Amparita, Kabupaten Sidenrang Rappang, berjarak sekitar 50 km dari Wajo. Sebagian tinggal di Macanang yang masih termasuk Kabupaten Wajo. Tanggal 1 Februari 2011, dengan diantar oleh Abdul Malik dan beberapa kawan aktivis PMII yang sekaligus alumnus Pesantren As’adiyah, saya coba menemui sesepuh Tolotang. Mula-mula kami ke Macanang. Setelah mencari-cari berdasarkan informasi dari salah satu kenalan dari Abdul Malik yang warga Tolotang, kami tiba di rumah sesepuh Tolotang. Kami coba menyampaikan maksud kami untuk silaturrahmi dan dialog. Tapi, dia tak bersedia untuk berkomunikasi lebih banyak, dan menyarankan saya agar ke Amparita saja.



Saya memahami penolakannya itu, sebagai bentuk kehati-hatian yang dilandasi pengalaman traumatis. Karena sejak awal abad 20, kaum Tolotang berada pada posisi yang tidak menyenangkan. Mereka dianggap sebagai kaum sesat, penyembah berhala, dan oleh mereka yang terlalu bergairah dalam dakwah, dipaksa masuk Islam. Dan di era kemerdekaan, mereka mengalami dua periode yang mengerikan, yaitu ketika coba dimusnahkan oleh gerombolan DI/TII dan ketika dipaksa masuk Islam oleh TNI.



Saya dan kawan-kawan seperjalanan memutuskan untuk ke Amparita. Dan kami beruntung karena kami bisa bertemu dengan Ketua Pemangku Adat di sana, yaitu Mappajanci SH, seorang Jaksa di Sidrap yang digelari Uwwa Ambih. Saya dan teman2 diterima dengan ramah oleh Uwwa Ambih di Rumah Adat Tolotang– kami dipersilakan duduk di semacam ranjang bambu di mana kami bisa bersila, serta disuguhi dengan teh hangat dan aneka kue. Beberapa warga Tolotang duduk di sekitar kami, ikut mendengarkan perbincangan.



Saya mengungkapkan bahwa tujuan kehadiran saya adalah untuk menjalin ikatan persaudaraan dengan Uwwa Ambih dan warga Tolotang, sekaligus mendapatkan wawasan spiritualitas Tolotang. Lalu mengalirlah diskusi kami. Uwwa Ambih antara lain mengungkapkan keberadaan diri dan warganya sebagai pengamal setia kebudayaan Bugis. Seringkali, dia mengatakan, orang menganggap mereka sebagai kelompok yang antik. Dia dengan tersenyum bertanya, sebetulnya siapa yang sebetulnya antik (aneh)? Sebetulnya yang dilakukan oleh warga Tolotang sekadar meneruskan tradisi dari leluhur mereka. Justru yang antik atau aneh itu sebenarnya adalah mereka yang tidak lagi meneruskan tradisi leluhur.

Dari diskusi dengan Uwwa Ambih saya bisa menyimpulkan secara sederhana bahwa unsur ajaran Tolotang itu terdiri atas pengakuan dan penyembahan kepada Maha Pencipta, ritual penghormatan kepada leluhur, penghargaan kepada alam, dan etika kemanusiaan yang universal. Dalam banyak hal, itu mirip - tetapi tidak sama persis - dengan Kejawen atau Sunda Wiwitan. Berbagai praktek mereka seringkali oleh para penganut agama mayoritas sebagai penyembahan berhala; dan jelas itu dianggap sebagai tuduhan yang tidak berdasar yang dilandasi ketidakpahaman pada tradisi spiritual lokal.



Kami berbincang-bincang sekitar 1 jam. Sebetulnya kami masih ingin lebih lama diskusi, tapi kami khawatir tuan rumah sedang sibuk, apalagi kami hadir tanpa perjanjian. Namun, Uwwa Ambih mengungkapkan harapannya saya dan kawan-kawan bisa hadir lagi untuk diskusi lebih lama. Dalam hati saya berharapa punya kesempatan untuk bisa datang lagi ke Amparita.



Bisa bertemu Uwwa Ambih membuat saya merasa puas, dan memberi optimisme untuk bisa bertemu dengan Bissu yang juga menjadi agenda penting. Hari itu juga saya mengontak Adi, untuk mengatur jadwal pertemuan dengan Bissu Puang Matowa Saidi, pada tanggal 2 Februari 2011. Dan Adi menyanggupi permintaan itu.



Tanggal 2 Februari 2011 saya meluncur dari Wajo menuju Pangkep. Transit sebentar di Sekretariat Sekolah Demokrasi Pangkep, saya diiringi 4 kawan aktivis di Sekolah Demokrasi bersama-sama menuju rumah adat di mana Bissu Puang Matowa Saidi tinggal. Tiba di tujuan, kami disambut oleh Bissu Puang Matowa Saidi yang kemudian bergegas berganti pakaian. Saya dengan penasaran mencoba mencermati bagaimana sebetulnya wujud seorang pendeta yang bukan laki-laki dan bukan perempuan. Dan yang saya saksikan, sebetulnya adalah sosok laki-laki yang berpenampilan halus karena unsur feminin di dalam dirinya cukup kuat. Bissu Puang Matowa Saidi menjumpai kami dengan kostum layaknya laki-laki Bugis: bersarung, berkemeja panjang warna putih, berpeci, dan berjanggut panjang tapi tanpa kumis. Unsur feminin ternyata tampak lebih pada tindak tanduk yang halus. Di luar itu yang menonjol dalam tangkapan mata saya adalah wajah Bissu yang bersih dan membiaskan cahaya.



Bissu Puang Matowa Saidi sebetulnya bisa berbahasa Indonesia, tapi memilih berkomunikasi hanya dengan bahasa Bugis. Jadi, saya beruntung karena didampingi kawan yang bisa menjadi penterjemah. Jadi pola komunikasi di antara kami, saya menyampaikan kata-kata saya dalam bahasa Indonesia, Bissu menanggapinya, dan kawan saya yang menterjemahkannya kepada saya.



Pada awalnya, kami berbincang-bincang di teras rumah adat yang berbentuk rumah panggung khas Bugis. Pada sessi diskusi di teras inilah Bissu mengungkapkan nujuman soal gejolak alam di Nusantara, sebagai imbas dari perilaku manusia Nusantara yang tidak selaras dengan alam Nusantara. Kawan-kawan saya menjelaskan, bahwa Bissu memang terbukti beberapa kali punya pandangan yang tajam tentang apa yang terjadi. Setiap akan ada gejolak alam yang besar, atau ada kejadian yang penting, biasanya Bissu menyampaikan pralambang tertentu.



Puncak kegiatan saya dalam kunjungan ke tempat Bissu adalah ketika Bissu setuju untuk “mendoakan” saya, seperti yang dilakukan Puun Jahadi di Cibeo, Kanekes, Banten. Permintaan “didoakan” ini saya lakukan karena saya memang menginginkannya, merujuk pada sensasi dan dampak positif yang saya rasakan setelah “didoakan” oleh Puun Cibeo. Di samping, saya juga juga disarankan oleh Mas Okky Satrio Jati, yang menjelaskan bahwa Bissu itu bisa menjadi medium untuk menyerap energi murni dari Tlatah Sulawesi. Saya diundang masuk ke bagian ruangan dalam rumah adat. Di ruangan itu terdapat perangkat-perangkat untuk proses atau ritual oleh Bissu. Di situ, kemenyan sudah mengebul menguarkan harum yang khas. Saya diminta untuk duduk, berkonsentrasi, rileks, meditatif. Bissu juga kemudian bermeditasi. Setelah itu, Bissu menyampaikan pesan-pesan tertentu, yang tentu saja saya bisa mengerti setelah diterjemahkan oleh pendamping saya. Saya mendapatkan pesan-pesan yang mengafirmasi beberapa hal, dan membuat saya makin termotivasi. Di samping saya juga diingatkan tentang beberapa hal yang lalai saya lakukan, dan harus saya perbaiki. Terakhir, Bissu mengambil sebuah badik kecil, memasukkannya ke dalam rongga mulut, sambil berkonsentrasi, setelah mengeluarkan badik itu dari rongga mulut, lalu melingkarkan tangannya ke tubuh saya, yang juga berkonsentrasi. Itu dilakukan dalam rangka memperkuat energi saya.

Dengan tuntasnya “ritual” di Rumah Adat Bissu Puang Matowa Saidi, terpenuhilah apa yang saya hasratkan ketika menjejakkan kaki di Tlatah Sulawesi. Saya bisa kembali ke Jawa dengan hati penuh kepuasan.

Semoga kisah singkat ini bermanfaat. Rahayu.
0 Response to "MEREGUK PESONA SPIRITUAL BUGIS"

Post a Comment



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan