PERJALANAN MENEMUKAN TIRTA PERWITASARI VII






Sudah sebulan lebih saya tidak menulis tentang perjalanan menemukan tirta perwitasari.  Bukan tidak ingin menulis.  Tapi, entah mengapa, kemampuan mengalirkan kata-kata seolah lenyap.  Ide dan gairah kuat untuk menulis entah bersembunyi di mana.  Padahal, sebulan terakhir ini, saya sering sekali melakukan tirtayatra atau perjalanan spiritual ke berbagai tempat.  Ibarat koki, sebetulnya saya sudah kulakan cukup banyak bahan.  Tapi, saya kehilangan “mood” untuk meraciknya, sehingga bahan-bahan itu diam teronggok.  

Puji syukur kepada Gusti Ingkang Murbeng Dumadi...sepulang dari perjalanan terakhir ke berbagai petilasan di sekitar Solo bersama Mas Dipa dan teman-teman, gairah dan daya untuk menulis ini kembali hadir.  Di Solo, saya memang sembat ngobrol dengan Mas Dipa, tentang mengapa belakangan ini kreativitas dalam menulis kok bisa mandeg.  Obrolan itu yang bisa mengurai akar masalahnya ada di mana.  Salah satunya, beberapa waktu belakangan, tanpa sadar saya mengubah gaya menulis saya.  Dalam beberapa tulisan terakhir, saya cenderung berpikir mencari ide terlebih dahulu, meninggalkan “kebiasaan” lama dalam menulis: menceritakan pengalaman, dan membiarkan ide muncul dengan sendirinya seiring dengan alur pengalaman itu.  Karena saya ngotot mencari sang ide, dia malah bersembunyi..barangkali takut ya......he, he, he....
Baiklah para pembaca....saya ingin bercerita perlahan-lahan, setahap demi setahap, karena sebagai hasil perjalanan dan ngangsu kawruh sebulan belakangan ini, banyak sekali yang ingin dan bisa saya ceritakan......

Pelajaran Selama Menuju Munggur
Awal bulan Juli 2012, saya kembali berkunjung ke Munggur, sebuah desa di Kabupaten Karanganyar.  Ada satu proses pembelajaran bersama Mas Dipa dan teman-teman seperguruan, yang akan dilaksanakan di desa itu, tepatnya di Sendang Gantung, sebuah sendang panglukatan yang baru saja kembali ditemukan.  Saya berangkat dari rumah sudah tengah hari, karena harus melaksanakan kewajiban saya sebagai seorang ayah, mengantarkan anak untuk tes masuk sekolah.  Pukul 20.00, ternyata saya baru tiba Semarang.  Saya hampir putus asa dengan nyaris membatalkan kedatangan ke Mungur, karena sebelumnya mendapatkan info bahwa pembelajaran akan dimulai paling lambat pukul 21.00.  Jika saya jam 20.00 masih ada di Semarang, paling cepat, jam 24.00 baru bisa sampai Munggur.  Tapi, setelah ada konfirmasi bahwa kedatangan saya ditunggu sampai jam berapapun, saya bulatkan tekad untuk melanjutkan perjalanan.

Memang, untuk bisa ngangsu kawruh dengan baik itu banyak tantangannya.  Dan demikianlah rumus semesta: tidak ada hal istimewa yang bisa diraih asal-asalan atau dengan cara yang mudah.  Sesuatu yang istimewa hanya bisa diraih melalui perjuangan keras dan disiplin tingkat tinggi, plus tekad sekuat baja.  Kaweruh yang saya coba pelajari dari Mas Dipa, adalah kaweruh yang memberi hasil nyata: meminjam bahasa KGPAA Mangkunegoro IV, itu adalah sugih ngelmu, sugih bondo, sugih kuwoso.  Dalam bahasa lain, saya tengah belajar tentang kaweruh Jawa yang memberikan jaminan seseorang bisa memperoleh mencapai tataran nimpuno dan memperoleh kamukten.  Siapapun yang telah tuntas mempelajari kaweruh ini - seperti ditunjukkan oleh kehidupan guru saya, bisa mendapatkan berbagai hal yang dirindukan oleh setiap manusia: kehidupan rumah tangga yang ayem tentrem, keberlimbahan finansial, kebahagiaan karena bisa menolong banyak orang, budi pekerti yang luhur, bahkan juga kekuatan ala Upasara Wulung, sang pendekar linuwih dalam novel Senopati Pamungkas karya Arswendo Atmowiloto.

Nah....untuk belajar kaweruh yang berharga hingga tuntas, jelas kita harus berkorban, siap menanggung derita tertentu selama belajar.  Sebagai ilustrasi, hampir setiap minggu saya menempuh perjalanan menggunakan bis dari Kuningan ke Solo selama 10-12 jam untuk bisa belajar dari Mas Dipa.  Jika pas saya ada pekerjaan di  Jakarta, dan ada jadwal belajar, tentu jarak tempuh menjadi bertambah. Tapi, selama kita memang sungguh-sungguh mau berhasil, selalu ada jalan.  Dan pasti juga berlaku rumus:  “Tak ada tantangan yang tak bisa ditaklukkan, tak ada kesulitan yang tak bisa dipecahkan”.  DENGAN TEKAD KUAT DAN KETULUSAN, KITA PASTI BERHASIL DALAM BELAJAR.

Kembali ke perjalanan menuju Munggur.  Saya tiba di Terminal Tirtonadi pukul 00.30.  Tengah malam demikian, sudah tidak ada bis menuju Munggur.  Maka saya menumpang bis tujuan Surabaya, lalu turun di Masaran, Sragen.  Dari situ, saya menumpang ojeg.  Pas kebetulan, penarik ojeg yang ada saat itu, adalah orang Sunda, dari Tasikmalaya.  Maka, setelah awalnya berkomunikasi menggunakan Bahasa Jawa, beralih memakai Bahasa Sunda.  

Dari Pak Juju, sang penarik ojeg itu, saya bisa belajar tentang “kehidupan”.  Ia menarik ojeg malam hari, dan di pagi hari menjadi tukang kunci, mangkal di Pasar Masaran.  Dengan cara demikian, ia bisa mendapatkan penghasilan untuk bertahan hidup.  Saya salut dengan semangat dan kesabarannya untuk menanti datangnya rupiah demi rupiah.  Menjadi tukang ojeg, juga tukang kunci, adalah profesi yang benar-benar harus mengandalkan kesabaran: kita harus benar-benar sabar menanti konsumen datang.  Di saat paceklik, bisa saja tak ada satu konsumen datang.  Tak terbayangkan jika saya harus menjalani profesi tersebut......Tapi, saya belajar bahwa untuk bertahan hidup, banyak jalan bisa diambil.  Dan selama seseorang bisa menggabungkan kesabaran, ketekunan, dan kerja keras, dia pasti bisa bertahan.  Apalagi jika ditambah kecerdasan dan strategi yang canggih, keberhasilan adalah hal yang niscaya diraih.

Sendang Gantung
Saya tiba di Munggur,  tempat Mas Dipa membabarkan kawruh kepada teman-teman seperguruan, jam 01.30.  Sayapun langsung duduk menyimak.  Tak lama setelah itu, Mas Dipa mengajak kami ke Sendang Gantung yang ada di desa tersebut.  Sendang Gantung ini menunjukkan jenis dari sendang tersebut, yang posisinya menggantung, di lereng sebuah sungai.  Di dekatnya, ada dua pohon besar dan berumur tua yang menaungi.  Di beberapa titik, bebatuan menjadi ornamen penambah kharisma sendang itu.

Mengenai sendang, dalam kawruh Jawa, ternyata dikenal beberapa jenis sendang.  Ada sendang yang khusus untuk diambil tirtanya, untuk kebutuhan upacara keagamaan.  Ada sendang yang khusus untuk panglukatan, yaitu menghilangkan energi negatif dan menyembuhkan penyakit seperti santet, gila, dan semacamnya.  Ada pula, sendang kenyo/joko yang digunakan untuk memandikan pemuda/pemudi di acara perkawinan.  Sendang Gantung, adalah sendang dengan fungsi panglukatan.

Tiba di Sendang Gantung, kami bersiap-siap untuk menjalankan prosesi manembah dan manekung di situ.  Tindakan pertama yang dilaksanakan adalah menyiapkan banten atau uborampe/sesaji, berupa pisang raja, bunga tiga warna yaitu bunga mawar merah, bunga mawar putih, kenanga, juga sesari berupa uang, dan minyak wangi.  Sesaji itu ditata sedemikian rupa: pisang raja berada di tengah, lalu bunga mawar merah, mawar putih, dan kenanga, diletakkan di atasnya, dengan susunan yang rapi mencerminkan pancer dan 4 penjuru mata angin.  Setelah struktur utama sesaji terbentuk, baru di semua tempat di nampan sesaji, ditaburi bunga tiga warna juga.

Setelah itu, disiapkan dupa wangi.  Dupa wangi yang telah tersulut, dipasang oleh Mas Dipa di beberapa tempat yang dinilai memiliki “energi” tertentu, atau ditempati entitas metafisik tertentu.  Proses menancapkan dupa-dupa ini dilakukan dengan berputar berlawanan arah jarum jam, sebagai simbol menjemput anugerah.  Pusat energi berada di lokasi di mana pohon besar dan batu hitam berada.  Tetapi, di tempat-tempat sekelilingnya juga terdapat simpul energi lain yang lebih kecil intensitasnya.  Jika dibuat analogi, istana utama ada di pusat, di sekelilingnya terdapat bangunan-bangunan penunjang.

Setelah sesaji siap dan dupa terpasang, kami semua duduk dan menyiapkan diri untuk memasuki alam keheningan.  Mas Dipa lalu mengucapkan mantra-mantra pengantar: berupa penghaturan sembah bakti kepada Gusti Hyang Widhi dan manifestasinya: Sang Hyang Purwa, Madya, Wasana, kepada Bapa Angkasa, Ibu Pertiwi, sedulut papat kalima pancer, kepada para leluhur, kepada para padanyangan dan penguasa kekuatan jagad, khususnya yang bersemayang di Sendang Dawe.  Selain berisi penghaturan sembah bakti, mantra itu juga menegaskan maksud kehadiran ke Sendang Gantung, dan penyerahan sesaji dan permohonan agar sesaji diterima, sekaligus menyatakan maaf jika sesaji tersebut kurang patut.

Tuntas mantra pembuka, bumi atau pertiwi ditepuk tiga kali.  Dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh Pak Puja, dan sessi meditasi oleh masing-masing.  Dalam meditasi tersebut, kami melakukan meditasi pertiwi dan meditasi angkasa untuk menyatukan diri dengan jagad ageng yang terepresentasikan oleh Sendang Gantung dan entitas metafisik yang ada di sana, sekaligus menyerap energi positif yang ada.  Pola meditasi demikian, kami lakukan, sesuai dengan konsep “nyawijiaken jagad alit lan jagad ageng”.  Secara lebih jelas, kami yang ngangsu kawruh dari Mas Dipa dibimbing untuk membangkitkan kekuatan yang ada di dalam diri, sekaligus menyerap energi semesta.  Karena seseorang bisa memiliki kekuatan dahsyat jika kekuatan di dalam dirinya bangkit melalui olah nafas, lalu mendapatkan dukungan semesta dengan segala unsurnya: leluhur, padanyangan, betara-betari, yang masing-masing memiliki energi dan siap nyengkuyungi kita dengan energi itu.

Setelah meditasi pertiwi dan meditasi angkasa, saya sendiri melakukan manekung dengan orientasi memasrahkan diri kepada Tuhan Yang Mahasuci, mencapai hening dan rasa menyatu dengan semesta.  Meditasi diselimuti gelapnya malam, di tengah semerbak wangi dupa, di lokasi dengan aura mistis yang kuat, jelas memberi sensasi tersendiri.  Damai, rasa dingin yang berpadu dengan kehangatan, benar-benar membawa kenikmatan spiritual.  Yah, kenikmatan spiritual ini adalah ganjaran langsung untuk tekad kuat melaksanakan tirtayatra!

Setelah prosesi manembah, bergantian kami mandi di sendang tersebut, dengan niat melukat seluruh energi negatif dan keburukan di dalam diri. Byurrr....nyesss...air dingin yang menyejukkan menyirami badan kami.  Dan yang merasa sejuk bukan saja raga, tapi juga sang sukma.  Ya...mandi di Sendang Gantung, saat fajar akan merekah, menambah sensasi saat meditasi.  Damai, hening, segar..demikian yang saya rasakan.

Cerita tentang Candi Dukuh dan Sendang Lanji


Setelah acara di Sendang Gantung, saat fajar merekah, saya melanjutkan perjalanan.  Saya punya janji bertemu dengan Mas Bayu Budi, sederek yang dulu juga menemani saya tirtayatra ke Candi Gedong Songo.   Saya dan Mas Bayu Budi bertemu di Ungaran.  Dari situ, menggunakan kendaraan Mas Bayu Budi, kami meluncur menuju Candi Dukuh yang berada di sisi Rawa Pening, tepatnya di Desa Rowo Boni.  Tapi, kami tidak melakukan proses manembah dan manekung di situ.  Kami hanya melihat-lihat.  Kebetulan, candi tersebut sedang direnovasi.

Candi Dukuh, terbuat dari bahan batu andhesit berwarna hitam.  Saya lalu bertanya kepada Mas Dipa tentang kategorisasi berdasarkan sastra/ajaran Jawa yang tertera dalam lontar kuno, dan Candi Dukuh ini tergolong candi jenis mana.  Saya mendapatkan paparan, bahwa candi itu terbagi menjadi tiga kategori, yaitu candi untuk perabuan – kebanyakan candi di Jawa Timur kebanyakan adalah candi jenis ini; lalu candi untuk proses ritual – Candi Gedong Songo adalah salah satu contohnya; dan candi pertapaan untuk mendadar diri.  Di sekitar Candi Gedong Songo yang menjadi pusat percandian di sekitar Gunung Ungaran, terdapat beberapa candi di sekelilingnya dengan fungsi masing-masing.  Candi Arjuna di Dieng, termasuk candi yang mengelilingi Candi Gedong Songo, dengan fungsi sebagai candi pertapaan untuk pendadaran para brahmana.  Sementara Candi Dukuh adalah candi pertapaan untuk mendadar para satria. Biasanya, di candi pertapaan seperti ini, ada bangunan dari batu berbentuk altar rata yang menjadi tempat duduk samadhi.

Dari sisi ilmu arkeologi, dengan bahan batu andesit hitam, Candi Dukuh, sebagaimana Candi Gedong Songo, diperkirakan dibangun sebelum masa Majapahit.  Terlebih, baru-baru ini petugas Balai Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah telah menemukan tujuh lempengan emas yang diduga berasal dari abad ke-9 Masehi. Di setiap lempengan emas berbentuk pipih itu terdapat simbol-simbol Hindu.  Itu menunjukkan pendirian Candi Dukuh juga pada abad 9 Masehi.

Setelah puas melihat-lihat Candi Dukuh, saya dan Mas Bayu Budi, melanjutkan perjalanan.  Ndilalah kok Mas Dipa mengajak bertemu di Sendang Lanji.  Maka, dari Rawapening, kamipun meluncur ke Sendang Lanji di Miri, Sragen.  Menyusuri jalur Salatiga-Sragen,melewati Gemolong, kami coba menemukan Sendang Miri.  Kami bertanya-tanya ke sana kemari sebelum akhirnya bertemu sendang tersebut.  Saya memang sudah beberapa kali ke situ, tapi karena tidak terlalu memperhatikan jalannya, jadi agak lupa lokasi.

Di Sendang Lanji, kami bertemu Mas Dipa dan Pak Puja.  Setelah ngobrol beberapa saat, kami mulai bersiap melaksanakan prosesi manembah.  Setelah menyiapkan sesaji, menyulut dupa, kami duduk bersila.  Mas Dipa membaca mantra pengantar, Pak Puja membaca doa, dan kamipun bersemedi.  Saat Mas Dipa mulai membaca mantram, dan kami masuk pada keheningan, terjadi fenomena alam yang menarik.    

Tiba-tiba, hadir angin mendesau-desau.  Saat yang sama, sapi-sapi yang ditambatkan di kandang di dekat sendang, ikut meramaikan suasana dengan lenguhannya.  Dan fenomena seperti ini, menunjukkan kehadiran dan keberadaan entitas spiritual yang jumeneng di Sendang Lanji.

Seperti pernah saya tuliskan di bagian terdahulu, Sendang Lanji adalah petilasan Ratu Shima, tokoh ratu yang bijaksana, bertahta di abad 7 Masehi.  Leluhur yang telah bertransformasi menjadi entitas cahaya, saat anak keturunannya melakukan proses manembah, biasanya hadir dengan menunganggi kekuatan alam seperti angin.  Kehadiran leluhur, justru bisa dirasakan oleh binatang yang lebih peka karena hidupnya selaras dengan ritme semesta.  Karenanya, saat-saat prosesi manembah dilakukan, binatang seperti sapi ikut-ikutan ramai dengan lenguhannya..itu simbol penyambutan mereka atas kehadiran entitas spiritual.

Sungguh, saya sangat menikmati saat-saat seperti ini..hanyut dalam keheningan, lalu tenggelam dalam fenomena alam yang penuh misteri, dan merasakan terpaan energi yang lembut mendamaikan.

Demikian yang bisa saya sampaikan pada bagian ini, semoga bermanfaat.  Sampai jumpa di kesempatan lain, dengan cerita yang berbeda.......


0 Response to "PERJALANAN MENEMUKAN TIRTA PERWITASARI VII"

Post a Comment



Laku spiritual adalah proses bertumbuhnya pengalaman keilahian, wujudnya adalah menjadi penuh dengan daya, penuh kebijaksanaan, penuh kecerdasan, penuh kreatifitas, penuh welas asih.


Setyo Hajar Dewantoro
Founder of Mahadaya Institute


Buku

Buku Medseba Buku Sastrajendra Buku Suwung Buku Sangkan Paraning Dumadi Buku Jumbuh Kawula Gusti Buku Tantra Yoga Buku Kesadaran Matahari Buku Kesadaran Kristus

Kegiatan