Oleh P.B. Susetyo & S.H. Dewantoro
Sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia
diproklamasikan dan diakui sebagai negara-bangsa (nation state) modern pada 17 Agustus 1945, sebenarnya kita telah
menjadi sebuah bangsa, bangsa Nusantara.
Dan bangsa ini telah mencatat berbagai cerita kegemilangan, ketika hidup
berdasarkan nilai-nilai keluhuran yang terbentuk secara natural sesuai
penyadaran yang dimiliki.
Nilai-nilai keluhuran inilah yang
kemudian dirumuskan oleh para pendiri bangsa ini sebagai Panca Sila, yang kini
menjadi dasar negara sekaligus sumber dari segala hukum di Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Nilai-nilai keluhuran
berupa nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai kerakyatan,
dan nilai keadilan, telah lama ada sebagai jati diri bangsa, dan dipraktikkan
sebagai jalan hidup bangsa Nusantara. Nilai-nilai
tersebut telah ribuan tahun menjadi jiwa bangsa Nusantara. Ia merupakan karakter murni dan luhur yang
memang hidup dalam keseharian setiap suku di Nusantara.
Lebih jauh, nilai-nilai keluhuran
yang kemudian diformulasikan sebagai Panca Sila oleh para pendiri NKRI,
merupakan local genious atau local wisdom yang memang telah
dipraktikkan di setiap suku di Nusantara.
Dan karena setiap suku telah mempraktikkannya lalu menempatkannya
sebagai nilai keluhuran, itu kemudian menjadi nilai bersama ketika suku-suku
itu terhimpun sebagai satu bangsa.
Nilai Ketuhanan, kenyataannya memang
telah ada sebelum manusia Nusantara diperkenalkan kepada agama-agama yang
sekarang dikenal sebagai agama resmi negara.
Secara natural, berbagai suku di Nusantara, mulai dari ujung Barat
sampai ujung Timur, dari ujung Utara hingga ujung Selatan, memiliki kesadaran
akan keberadaan Sang Sumber Hidup, yang menjadikan manusia beserta jagad yang
ditempatinya, sekaligus menaungi kehidupan manusia. Realitas yang dalam bahasa Indonesia disebut
Tuhan ini, telah dikenal oleh berbagai suku di Nusantara dengan bahasa yang
berbeda-beda: Gusti, Pangeran, Hyang, Debata Semula Jadi, Tetemanis, dan
seterusnya. Kesadaran ini diejawantahkan
lewat ritual dan tradisi yang beragam, tetapi berorientasi kepada realitas yang
sama. Inilah yang menjadi dasar para
pendiri NKRI merumuskan sila pertama Panca Sila, Ketuhanan Yang Maha Esa,
Berangkat dari kesadaran ketuhanan,
tumbuhlah nilai kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Bangsa Nusantara sejak dahulu kala telah
menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Ini merupakan pengejawantahan dari
kesadaran akan Realitas Tanpa Batas atau Tuhan yang memiliki karakter dasar
Kasih. Berbagai suku di Nusantara menyadari bahwa
hidup sesuai jalan Tuhan adalah hidup dalam naungan kasih, dan mereka punya
semangat menebar kasih kepada sesama manusia tanpa pandang bulu. Tradisi menghormati sesama manusia, berkarya
untuk kenyamanan sesama manusia, sifat ramah tamah untuk menyenangkan hati
sesama manusia, sungguh telah hidup sebagai keluhuran karakter atau watak luhur
pada berbagai suku di Nusantara. Kuatnya
nilai kemanusiaan di dalam kehidupan berbagai suku di Nusantara, menjadi dasar
para pendiri NKRI merumuskan sila 2 Panca Sila, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Pada tiap suku di Nusantara, juga
hidup kesadaran bahwa sebagai pengejawantahan dari kekuasaan Tuhan, manusia
dijadikan dalam ragam ras, suku, bahasa dan budaya. Manusia Nusantara sejak dulu kala telah
menyadari keanekaragaman adalah sesuatu yang natural dan merupakan anugerah
Tuhan. Dalam keragaman, dalam
keberbedaan, berbagai suku di Nusantara punya semangat untuk bersatu demi
kesejahteraan dan kedamaian bersama.
Mereka sadar bahwa semua manusia yang berbeda-beda itu pada dasarnya
adalah sesama titah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Perjalanan dan pengalaman hidup juga membuat berbagai suku itu sadar
sebagai satu bangsa, bangsa Nusantara, dan kemudian pada 17 Agustus 1945
membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Semangat dan jiwa ini yang kemudian diformulasikan dalam sila ketiga
Panca Sila, Persatuan Indonesia.
Kemudian, kita juga bisa mencermati semangat
dan tradisi yang telah hidup dalam setiap suku di Nusantara, bahwa mereka
selalu berembug, berbicara dari hati ke hati, untuk mengatasi berbagai
persoalan yang ada, demi kepentingan bersama, kepentingan rakyat. Orang-orang yang dituakan di dalam suku,
mewakili sukunya untuk menemukan keputusan paling tepat, berdasar hikmat
kebijaksanaan yang tumbuh di hati terdalam mereka. Telah menjadi keluhuran karakter berbagai
suku di Nusantara, permusyawaratan atau rembugan, dijalankan oleh para tetua
suku benar-benar berdasarkan apa yang menjadi bimbingan dari Tuhan di dalam
rasa terdalam masing-masing. Ini yang
menjadi dasar para pendiri NKRI merumuskan sila keempat dalam Panca Sila, Kerakyatan
Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan
Nilai, kesadaran dan kebijaksanaan
berikutnya yang bisa kita tangkap telah ada sejak masa yang sangat silam di
Nusantara ini adalah, bahwa anugerah kehidupan yang diperoleh melalui karya dan
kerja keras bersama, sewajarnya dinikmati bersama secara adil. Hingga kini, pada suku-suku yang masih
mempertahankan budaya originalnya seperti komuntas Kanekes, Sedulur Sikep, dan
yang lainnya, tidaklah ada ketimpangan sosial, eksploitasi pada satu kelompok
yang dianggap lemah, dan praktek-praktek lain yang menciderai prinsip
keadilan. Kearifan lokal yang hingga
kini tetap lestari pada komunitas seperti ini adalah, segenap sumber daya yang
telah dianugerahkan Tuhan, dipergunakan bersama secara harmoni, secara serba
selaras. Dan nilai inilah yang kemudian
dirumuskan sebagai Sila kelima dalam Panca Sila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.
Post a Comment