Pikiran-pikiran yang penuh prasangka dan keliru itu akan terterakan jejaknya di tubuh Karma. Apalagi kalau dia sudah termanifestasikan dalam bentuk kata-kata.
Kita melontarkan kata-kata yang tidak didasari oleh kasih, tidak berangkat dari keheningan tapi mengikuti egonya kita.
Kata-kata itu mengandung keangkaramurkaan.
Apalagi sampai membuat orang terluka dengan kata-kata itu. Apalagi kata-kata itu fitnah yang membuat orang lain terugikan dengan kata-kata itu.
Itu kemudian akan terekam di dalam tubuh Karma dan menjadi bagian dari jejak karma buruk atau jejak dosa.
Terlebih tindakan, tindakan kita menyakiti bumi, menyakiti manusia atau menyakiti siapapun yang di mana itu dilakukan tanpa tuntunan dari diri sejati, tanpa ada kasih yang melandasinya itu menjadi jejak dosa yang betul-betul itu menjadi noda keruh di dalam tubuh karma.
Secara matematika semestanya ketika tubuh karma ini penuh dengan kekeruhan, dengan noda tadi, maka itu menciptakan medan energi yang tidak selaras .
Medan energi yang tidak selaras itu pada akhirnya akan menarik segala ketidakselarasan.
Nah ketidakselarasan itu dalam bahasa manusiawi bisa disebut sebagai pemicu penderitaan atau musibah.
Ini menjadi realitas yang tidak bisa disangkal.
Karena orang tidak dilatih untuk hening, maka orang terbiasa untuk mengeruhkan jiwa raganya sendiri dan otomatis mau tidak mau harus menanggung buah karmanya sendiri.
Tanpa adanya loncatan kesadaran, akan terjebak di dalam siklus penderitaan.
Tanpa menemukan jalan pencerahan, orang tidak akan lepas dari roda samsara .
Setyo Hajar Dewantoro
Kajian Jakarta, 27 Feb 2021.
Post a Comment