Awal Juli
2012. Di depan layar komputer, di gubug
saya yang tak jauh dari Gunung Ciremai.
Sambil meresapi indahnya alunan kecapi, suling dan alat musik lainnya
yang berpadu harmoni dalam degung. Jari
jemari ini kembali melanjutkan karya,
menulis catatan perjalanan menemukan sejatinya kehidupan dan kehidupan yang
sejati – yang disimbolkan dengan tirta perwitasari. Semoga Anda, para pembaca, bisa menikmati
sajian ini.
Pencerahan
dari Sagarahyang
Beberapa hari
yang lalu, kembali saya berkesempatan merasakan mengecap kehangatan mistis di
Situs Sanghyang Ci Arca, Desa Sagarahyang.
Bersama Mas Aryanto dan Pak Kosasih yang datang jauh-jauh dari Bekasi,
dan ditemani Kang Tablo kuncen di situ, sekitar jam 20 malam, saya berjalan
meniti jalan yang telah gelap karena diselimuti malam menuju pepunden di
lereng Gunung Ciremai tersebut. Di kanan kiri, tampak silhuet pepohonan. Sementara menatap ke atas, langit menyambut
dengan kesunyiannya yang agung.
Kehadiran ke Sagarahyang, adalah salah satu upaya untuk menjalankan petuah dari karuhun di Tatar Sunda:
Di situs Sang
Hyang Ci Arca yang telah ada sejak 2000 SM, kita bisa menemukan lingga yoni,
patung lembu nandini, dan batu-batu pepunden.
Di kelilingi pohon-pohon berusia tua dan berukuran besar, dan di
sekitarnya juga ada pohon hanjuang dan handeuleum, situs ini memagut hati,
menarik kita terbang ke masa silam. Jika
kita berkunjung malam hari, jelas, suananya menjadi sangat syahdu. Menikmati keheningan di tempat dengan energi
yang besar, menghadirkan damai tersendiri.
Bersemedi di
tempat tersebut, terasa benar ada kemenyatuan antara diri ini dan semesta. Ya, saya tenggelam dalam hangatnya rengkuhan
semesta di Situs Sanghyang Ci Arca/Sagarahyang.
Dan, setelah prosesi semedi berakhir, masih ada sajian memikat: alunan
Rajah Prabu Siliwangi dari HP milik Kang Tablo.
Sambil menunggu saat kita bisa pulang meninggalkan situs tersebut, jiwa
ini disentuh oleh kata-kata yang membius:
“amit ampun nun
paralun
ka Gusti nu Maha Suci
neda pangjiad pangraksa
para abdi-abdi seni
seja ngaguar laratan
titis waris nini aki
ngembatkeun jalan laratan
katampian geusan mandi
ka leuwi sipatahunan leuwi anu ngaruncang
diri-dirina nu sakiwari
rek muru lurung tujuh ngaliwat ka pajajaran
bongan hayang pulang anting
padungdengan padungdengan
jeung usikna pangancikan
puuuunnn...sapuuuunnnn....
sampurasun karumuhun
kaHyang Prabu Siliwangi
numurba di Pajajaran
pangauban seuweu-siwi
nu gelar di tatar SUNDA
muga nyebarkeun kawangi”
ka Gusti nu Maha Suci
neda pangjiad pangraksa
para abdi-abdi seni
seja ngaguar laratan
titis waris nini aki
ngembatkeun jalan laratan
katampian geusan mandi
ka leuwi sipatahunan leuwi anu ngaruncang
diri-dirina nu sakiwari
rek muru lurung tujuh ngaliwat ka pajajaran
bongan hayang pulang anting
padungdengan padungdengan
jeung usikna pangancikan
puuuunnn...sapuuuunnnn....
sampurasun karumuhun
kaHyang Prabu Siliwangi
numurba di Pajajaran
pangauban seuweu-siwi
nu gelar di tatar SUNDA
muga nyebarkeun kawangi”
Inti dari rajah
atau kidung ini adalah spirit dari manusia masa kini untuk terus
menghidupkan tradisi masa silam,
menghormati para karuhun atau leluhur, dengan harapan, segala keharuman di masa
silam, bisa kita nikmati kembali saat ini bahkan bisa berkembang lagi.
Memang, di Tatar
Sunda, hidup sebuah wangsit yang memberi harapan tentang kejayaan di masa
depan, melanjutkan kejayaan di masa silam, yang bisa diringkas seperti ini, “Nusantara jaya jaya deui, Pajajaran ngadeg
deui tapi lain Pajajaran nu baheula.......pageto aya pamingpin nu sok
ngalalana, nyaeta budak angon...anu diangon lain domba, tapi nu diangon nyaeta
kalakay jeung tutunggul”. Nusantara
yang jaya di masa silam akan jaya lagi.
Pajajaran akan berdiri lagi tapi bukan Pajajaran yang jaman dahulu. Tandanya adalah ketika muncul pemimpin yang
suka berkelana, dan hidupnya menggembala sesuatu, tapi bukan menggembala domba,
melainkan ranting-ranting dan daun berserakan, serta batu-batu pepunden."
Ya, pada
saatnya, akan ada transformasi di bidang politik, seiring transformasi di
bidang kebudayaan. Di mana jika semula
yang berkuasa di pucuk kekuasaan politik adalah para petualang yang berwatak
serakah karena tak bisa mengendalikan hasrat diri, pada saatnya, hadir pemimpin berjiwa pandhita yang
bisa mengayomi rakyat karena telah tuntas laku spiritualnya.
Lalu, siapa yang
dimaksud budak angon tersebut? Ia adalah
siapapun, sekaligus bukan siapapun. Ia
bisa Anda, bisa saya, sekaligus bisa bukan Anda dan bukan saya. Nujuman itu tidak merujuk pada orang
tertentu, tapi merujuk pada kriteria yang perlu dipenuhi oleh sebanyak mungkin
anak bangsa. Semakin banyak anak bangsa,
generasi muda, yang bisa memenuhi kriteria budak angon, semakin dekat dan nyata
Nusantara ini kembali pada kejayaannya.
Maka, mari kita sama-sama meningkatkan kesetiaan kita pada tradisi
leluhur dan makin gentur, makin tekun, dalam menggembleng diri. Karena keberhasilan kita, adalah penentu
nasib bangsa ini di masa depan.
Leluhur memberi
banyak ajaran yang luhur. Salah satunya
adalah ajaran padarasa...ajaran agar
kita bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan bertindak sesuai dengan
prinsip: kalau tidak mau disakiti jangan menyakiti..kalau tidak mau dirugikan,
jangan merugikan. Juga ajaran untuk eling sa’acan meunang kasusah, lan ulah
nggresula. Ingat untuk bertindak
benar sebelum datang penderitaan (yang diakibatkan tindakan salah kita
sendiri), dan jangan mengeluh atau memberontak dari ketetapan: bahwa kita sesungguhnya
memetik apa yang kita tanam. Kita
dituntun untuk bisa nrimo ing pandum,
menerima dengan legowo apa yang sudah mestinya kita terima, sebagai bentuk
pertanggungjawaban atas apa yang kita lakukan, sembari berusaha agar kita bisa
memetik buah yang lebih manis di masa depan.
Memang, mengikuti ajaran leluhur itu tidak mudah. Tapi, ajaran demikian
adalah jalan kita menuju kamukten, menuju kejayaan, kehormatan dan hidup penuh
kebahagiaan.
Saat pulang dari
Sagahyang, menyusuri jalanan sepanjang Sagarahyang-Cigugur yang sepiu dan
berselimutkan malam yang pekat, saya mengalami dua hal yang membawa peningkatan
kesadaran saya. Pertama, seolah ada yang
berbisik dari di dalam diri, “Sing Maha
Suci anane ya ning badan ingsun, sing maha kuwoso anane yo ning badan ingsun”. Yang Mahasuci ada di badanku, yang Mahakuasa
juga ada di badanku. Ini adalah
pernyataan yang tegas tentang kebenaran yang biasa diungkapkan para spiritualis
Jawa: jumenenge Gusti kuwi yo ning awake
dewe. Gusti bisa ditemukan dengan
menyelami diri, seperti Bima yang menyelami samudera jiwanya. Dan kekuatan-kekuatan dahsyat bisa ditemukan
di dalam diri, dan bisa bermanfaat bagi hidup kita jika itu kita bangkitkan,
dengan jalan yang tepat.
Kedua, di
tempat-tempat yang sunyi, dan gelap – berupa gerumbul pepohonan atau bambu, hati ini terdorong untuk menyapa, “Rahayu
rahayu rahayu sagung dumadi. Ingsun
hangaturaken uluk salam sih katresnan dumateng sedoyo titah alus dan titah urip
ingkang wonten teng tlatah mriki. Monggo
kito silih donga dinonga supados tansah sami-sami tansah wonten ing karaharjan.”
Ya, ini adalah etika manusia Jawa: kita
harus welas asih dan siap merajut harmoni dengan siapapun, termasuk titah alus
yang dalam tradisi tertentu dianggap sebagai musuh yang harus dimusnahkan.
Menyatu
dengan Unsur-unsur Semesta
Beberapa hari
sebelum ke Sagarahyang, saya juga sempat tirtayatra ke beberapa tempat di Jawa
Tengah bersama Mas Dipastraya dan teman2 seperguruan: yaitu ke Sendang
Semangling, Kedungjati, Manggarmas, Bledug Kuwu, dipungkasi mandi di Sendang
Ontrowulan. Kunjungan ke Sendang
Semangling yang berada di kaki Gunung Kendalisada adalah kali kedua, setelah
kunjungan pertama beberapa bulan yang lalu.
Pepunden ini adalah tempat jumenengnya Begawan Mayangkara atau Eyang
Hanoman, yang punya kaitan erat dengan Telaga Madirda, di Gunung Lawu, sebagai
tempat jumenengnya Dewi Anjani, ibu beliau.
Sendang
Semangling, seperti pernah saya tuliskan di catatan terdahulu, adalah tempat
yang bagus untuk nyumunar atau nyemangling jiwa kita, agar bersinar dan
berkilau. Kedatangan kita ke tempat itu,
memberi peluang bagi kita untuk mendapatkan energi yang berguna agar dalam
hidup keseharian, kita bisa lebih terbimbing oleh sukma sejati kita sendiri,
yang cahayanya diharapkan bisa makin menyinari pikiran, penglihatan,
pendengaran, perasaan, dan tindakan kita.
Sementara di Telaga Madirda, kita bisa menyerap energi dari Cupu Manik
Astagina, simbol esensi kehidupan, tirta perwitasari, yang jika benar-benar
kita bisa dapatkan, maka itu menjadi kunci teraihnya kasampurnan.
Sendang
Semangling dan Telaga Madirda yang dikaitkan dengan tokoh berujud kera dalam
pewayangan, perlulah kita pahami filosofinya.
Tokoh Eyang Hanoman dan Dewi Anjani digambarkan bersosok kera, karena
menjadi simbol manusia yang sangat berharap dan telah dekat pada kesempurnaan. Dalam Ramayana diceritakan, pasukan kera bisa
mengalahkan pasukan Alengka. Dan
Hanomanlah yang memenjara Rahwana. Itu simbol dari sebuah prinsip, “sebuah
keangkaramurkaan hanya bisa dikalahkan oleh mereka yang punya hasrat kuat atau
telah dekat dengan kesempurnaan/kesucian”, suradira jayaningrat lebur dening
pangastuti.
Sementara itu,
Manggarmas atau Mrapen, tempat dimana kita bisa bertemu dengan api abadi, dan
Bledug Kuwu, tempat tanah selalu mengeluarkan letupannya, merupakan tempat di
mana kita bisa menyatu dengan/menyerap energi api dan energi bumi. Dalam rangka menuju kesempurnaan sebagai
manusia, kita perlu pahami unsur-unsur yang membentuk manusia: Api, Udara,
Tanah, Air, dan Eter. Maka, untuk menuju
kesempurnaan yang ditandai dengan bangkitnya kekuatan-kekuatan terpendam di
dalam diri manusia, maka, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, intensif mengolah nafas agar
bangkitlah kekuatan yang bersemayam dalam badan eter manusia. Kedua, intensif menyelaraskan diri dengan
tempat-tempat yang menjadi pusat kekuatan jagad raya, semisal Manggar Mas atau
Mrapen yang menjadi pusat kekuatan api, dan Bledug Kuwu yang menjadi pusat
kekuatan tanah, Gunung yang menjadi pusat kekuatan udara/angin, dan berbagai
telaga dan samudera yang menjadi pusat kekuatan air.. Saat dua hal ini dilakukan, maka kekuatan di
dalam diri manusia bisa terhubung dengan kekuatan semesta, manunggallah antara
jagad alit dan jagad ageng.
Demikianlah,
rangkaian tirtayatra bisa dipahami sebagai proses dengan multiorientasi. Selain sebagai sarana kita untuk menyerap
berbagai energi jagad raya dalam rangka penyempurnaan diri, tirtayatra juga
sebagai upaya untuk melakukan penghormatan dan menunjukkan rasa bakti kepada
para leluhur dan seluruh penguasa kekuatan jagad yang merepresentasikan
keberadaan Tuhan Yang Mahasuci, dan telah berjasa kepada kita sesuai peran
masing-masing. Berbakti kepada leluhur,
dan menghormat secara patut kepada seluruh entitas metafisik yang telah berjasa
kepada kita – yang dalam konsep Jawa bisa disebut dewa, betara, danghyang,
danyang – dan beberapa sebutan lainnya, merupakan manifestasi sikap manembah
dan bakti kita kepada Gusti Ingkang Akaryo Jagad. Kesemuanya itu adalah rangkaian jalan menuju urip
kamukten, kasampurnan urip, dan kembalinya kita pada sangkan paraning dumadi.
Wong
Jowo Gugat
Dalam perjalanan
berkeliling ke beberapa pepunden/petilasan bersama Mas Dipastraya dan
teman-teman seperguruan, saya makin sadar akan satu pesan metafisik: Leluhur
Gugat, atau Wong Jowo Gugat. Kenyataan
di lapangan, memberi saya pemahaman bahwa memang gugatan tersebut adalah sebuah
keniscayaan. Pada perjalanan sebelumnya,
sudah saya paparkan tentang pepunden leluhur, yaitu Gua Cerme di Bantul, yang
diklaim sebagai warisan para wali. Saat
perjalanan kemarin, saya menemukan dua kasus serupa: Pertama, di Kedung Jati, salah satu desa tandus di Kabupaten
Purwodadi, salah satu pancer dari pusat-pusat energi di Benteng Kendeng Utara,
yaitu pohon sonde – sebuah pohon tua yang sangat besar dan tak berdaun lagi,
sebagai simbol jumenengnya Sang Hyang Wenang, diberi label “Tempat Istirahatnya
Sunan Kalijaga Saat Akan Mendirikan Masjid Demak”. Kedua, Watu Bobot yang merupakan batu
penyangga tiang di Kraton Majapahit, juga diklaim sebagai Batu Peninggalan
Sunan Kalijaga.
Pola-pola
seperti ini, jelas membuat generasi penerus tidak lagi mengenal sejatinya
sejarah dan arti sebuah tempat yang wingit atau punya nilai kesakralan. Bisa dibilang, ini adalah pemerkosaan
budaya. Akibatnya, hubungan antara
manusia Nusantara masa kini dan leluhur di masa lalu sulit terjadi, karena
jembatannya diputus/ditutup. Jika pola
ini tidak dibongkar, jelas akan membuat bangsa ini kian sulit mengenal
jatidirinya. Karena itu, sangatlah
dipahami jika ada pesan metafisik Leluhur Gugat atau lebih jelasnya, “Wis mangsa kalane wong Jowo gugat”. Sudah waktunya, pola-pola demikian
dibongkar. Segala sesuatu dikembalikan
pada tempatnya: apa yang memang warisan dari leluhur Nusantara ya harus
disampaikan demikian, dan generasi masa kini harus tahu fakta tersebut.
Maka, menjadi
komitmen saya, untuk menemukan semua fakta manipulasi terhadap pepunden
Nusantara dan mengungkapkan kebenaran soal hal itu. Itu adalah salah satu jalan agar generasi ini
mengenal dan menghargai warisan leluhurnya.
Renungan tentang Dinamika Jiwa
Cerita wayang,
tampaknya memang paduan cantik antara historisitas dan simbolisme. Ya, dalam dunia wayang, ada lakon dan tokoh
yang bisa dilacak keberadaan faktualnya.
Tapi, saat yang sama, cerita wayang menyajikan pembelajaran simbolik:
tentang watak manusia, tentang pergulatan di dalam diri manusia. Maka, Bharata Yudha, adalah simbol dari
berbagai unsur di dalam diri yang terus bergolak, hingga bertemu titik
keselarasan. Buta (raksasa), dengan
berbagai variannya, termasuk Buta Cakil, adalah gambaran dari hasrat-hasrat
gelap di dalam diri, yang sewaktu-waktu muncul untuk merusak tatanan di dalam
diri yang semula selaras, ayem tentrem.
Pengalaman saya
menunjukkan adanya pergolakan jiwa yang terus menerus, Bharata Yudha atau
pertarungan antara kekuatan terang dan kekuatan gelap di dalam diri yang tak
berkesudahan. Tirtayatra yang intensif,
tak otomatis membuat jiwa ini ayem tentrem selamanya. Ada kalanya, buta/raksasa atau energi gelap
di dalam diri menyeruak bangkit dan ingin mendominasi.
Bagi saya, jika hal demikian
terjadi, berarti saya tengah diberi kesempatan menikmati kemunduran atau kejatuhan
spiritual sementara. Meski terkesan terperangkap
keburukan, bagi saya, itu bukanlah keburukan sepenuhnya. Semua peristiwa hidup adalah momen
pembelajaran. Memasuki ruang gelap,
merasakan cengkeraman kegelapan, juga adalah bagian dari mengenal sejatinya
hidup yang tak hanya punya terang. Dan
lebih dari itu, ia bisa menjadi semacam pijakan untuk naik lebih tinggi lagi
dalam tangga spiritual. Perjalanan menuju
puncak spiritualitas yang diwarnai proses naik dan turun, bangkit – jatuh –
lalu bangkit lagi, dalam kesadaran saya memang harus dijalani. Itu yang membuat hidup berwarna dan penuh
misteri. Sekaligus, itu memberi
peringatan, “Saya bukan orang suci, dan tak pantas mengaku sebagai orang suci.”
Tentu saja, saya bukan
menganjurkan Anda untuk senang berbuat keburukan dan gampang menuruti hasrat
gelap di dalam diri. Apalagi jika itu sampai merugikan pihak lain. Justru kita harus punya tekad kuat untuk tidak merugikan pihak lain. Saya hanya ingin
menegaskan, bahwa dalam proses menuju kesempurnaan, kita harus mengakui
ketidaksempurnaan diri kita. Kita perlu
menerima diri kita apa adanya, menerima bahwa sebagaimana kita bisa bangun,
kita juga bisa jatuh. Tak perlu
terperangkap oleh rasa berdosa yang tidak perlu. Saya sendiri, seringkali membiarkan diri saya
berkelana dalam alam imajinasi, untuk mengetahui sejauh mana hasrat bisa
bergerak, dan apa hasilnya jika hasrat itu dipenuhi. Itu memberi saya pelajaran, ternyata hal yang
berharga adalah ketenangan, kedamaian, dan kesunyian. Gelegak hasrat hanya membawa pada dahaga yang
menggelisahkan dan tak berkesudahan.
Pada akhirnya, ketika diri menyadari hal itu, ada energi tak kasat mata
yang membawa kita kembali ke jalur, jalur menuju puncak spiritualitas.
Ya...selama kita jujur
dan punya tekad kuat untuk menggapai kasampurnan urip, kita selalu punya jalan
untuk menang dalam Bharata Yudha di dalam diri.
Kita bisa saja kalah dalam satu pertarungan, tapi pada akhirnya, kitalah
yang memenangkan peperangan secara keseluruhan, sebagaimana para Ksatria Pendawa
memenangkan akhir peperangan melawan Kurawa dan semua raksasa.
Refleksi
Akhir: Bangkit dan Bergerak
Setelah menghabiskan
malam Jum’at di Sagarahyang, pada hari Jum’at, saya berjalan ke Timur. Saya memenuhi undangan dari teman-teman di Desa
Munggur Karanganyar yang melaksanakan tradisi odalan pura di situ dengan
prosesi sembahyangan dan menanggap wayang menampilkan lakon Wahyu Cakraningrat
dengan dalang Ki Winarno Sabda dari Tengger.
Saya sendiri diminta untuk memberi darmawacana, atau berceramah kepada
warga yang hadir. Dalam kesempatan itu,
saya sampaikan pengalaman saya kembali ke ajaran leluhur, dan pentingnya setya
tuhu kepada tradisi luhur yang diwariskan para pendahulu kita.
Tengah malam, bersama
Mas Dipa dan teman-teman seperguruan, kami menyempatkan diri mandi di Sendang
Lanji, yang merupakan petilasan Ratu Shima.
Saya pribadi sangat menikmati meditasi di situ yang diwarnai rasa dingin
yang menembus ke dalam diri: sensasi kesejukan dan keheningan.
Dalam perjalanan ke
Timur ini, saya juga sempat sowan ke rumah Ki Sabdalangit dan Nyi Untari di
Jogjakarta yang sudah saya anggap laksana orang tua saya. Di sini, saya mendapatkan
petuah penting terkait lakon hidup yang saya jalani. Satu hal yang bisa saya sampaikan: sebuah
kegagalan jangan dipahami sebagai akhir perjuangan. Kita boleh kalah, tapi harus bangkit lagi
untuk menuntaskan tujuan perjuangan tersebut.
Dalam rangka memanifestasikan kesadaran sebagai satrio pinandhita, saya
sempat terjun ke kancah politik. Tapi,
saya gagal, karena – kasarnya – dikhianati oleh teman yang semula dalam satu
barisan seperjuangan dan sangat saya percayai.
Nah, kegagalan tersebut, akhirnya bisa saya tempatkan sebagai umpan
balik, bahwa laku saya – meminjam bahasa Bu Untari – masih cethek atau
dangkal. Dalam bahasa Ki Sabdalangit,
untuk menggapai sebuah gegayuhan besar, tentu saja, laku bathinnya juga harus
besar, tidak bisa sembarangan. Jika
investasi berupa laku prihatin kita belum tuntas, tentu saja gegayuhan
tersebut tak akan tercapai.
Berangkat dari
kesadaran tersebut, saya mencanangkan sebuah tekad untuk meneruskan semua laku
prihatind dan latihan spiritual yang sudah saya jalani – yang jika dihitung
sejak 2008 saat saya pertama kali ke pepunden, yaitu ke petilasan Ki Ageng Kebo
Kanigoro di Selo Boyolali, baru berjalan 4 tahun. Kalau dibandingkan yang dijalani para senior
atau sesepuh, jelas itu belum apa-apa.
Kebanyakan beliau-beliau, investasi laku prihatin sebelum mencapai taraf
kamukten, rata-rata durasinya adalah puluhan tahun.
Saya bersyukur, saat
ini, saya mendapatkan bimbingan secara intensif dan sistematik dari Mas
Dipastraya untuk menyempurnakan laku saya dan meningkatkan taraf hidup di semua
sektor, lahir dan bathin. Dengan begitu,
pada saatnya, saya bisa kembali menjalankan missi sebagai satrio pinandhita,
secara lebih siap dari segi apapun: spiritual, kemantapan mental, dan
ketersediaan finansial.
Demikianlah, kini saya
tengah menata semuanya kembali: karier kembali saya bangun setelah sempat porak
poranda karena energi saya tersedot oleh urusan politik. Aspek intelektual dan spiritual juga tengah
saya bangun lebih baik agar berbuah kasampurnan urip.
Mohon doa dan pangestu
dari Anda semua. Semoga Anda semua juga selalu
dalam karahayuan.
Rahayu, rahayu, rahayu
sagung dumadi.
Post a Comment