Tulisan ini, adalah tanggapan untuk sahabatku tercinta Dindien. Saya muat di note supaya ada sahabat lain yang bisa mendapatkan manfaat.
Apa yang disebut dengan wahyu? Apa pula yang disebut dengan kekuatan akal? Atau lebih tepat, apa yang disebut dengan hasil pemikiran?
Mari kita lihat hakikat kata-kata itu satu persatu: Setiap manusia, seperti yang sudah sering saya paparkan, memiliki unsur-unsur jasmani sekaligus unsur ruhani. Unsur jasmani itu adalah badan kita, yang secara garis besar terdiri dari elemen tanah, air,api, dan udara. Sementara unsur ruhani itu adalah Ruh (yang ditiupkan oleh Allah, atau dalam bahasa sufistik: yang merupakan manifestasi (tajjali) Dzat Yang Maha Lembut).
Dalam khazanah kebudayaan Jawa...ruh itu disebut juga dengan sukma (bisa juga disebut dengan Sukma Sejati).
Nah..hasil "perkawinan" antara unsur langit dan unsur bumi itu, lahirlah "jiwa" (nafs)...ialah sang aku, yang merasa dan menyadari keberadaannya sebagai sosok yang punya jatidiri dan keberbedaan dengan "aku" yang lain (sebagaimana Dindien merasa berbeda dengan Setyo). --- Oh ya, sebagai salah satu rujukan yang bagus tentang masalah ini adalah karya Sachiko Murata, The Tao of Islam, di Indonesia diterbitkan Mizan.
Lebih lanjut, sesosok aku (sang manusia), memiliki beberapa perangkat jasmani yang mencerminkan keberadaannya sebagai makhluk bumi: antara lain itu adalah panca indera (mata, telinga, dll)...termasuk juga otak....Pada dimensi ini, kelebihan manusia dibandingkan hewan adalah bahwa perangkat mereka lebih canggih...khususnya berkenaan dengan "Otak"...(karena otak manusia lebih berat, dan lebih rumit instrumennya).
Sang aku, atau nafs...pada prakteknya bisa memanfaatkan perangkat2 yang dimiliki itu untuk menemukan Kebenaran. Jika ia menggunakan panca indera, maka pendekatannya disebut dengan pendekatan empirik. Jika ia memanfaatkan fungsi otak, yaitu akal, atau rasio, maka ia menggunakan pendekatan rasional.
Namun, sang aku juga bisa mempergunakan hati nuraninya, yang merupakan salah satu pengejawantahan dari keberadaan Ruh yang Suci di dalam diri manusia. Mereka yang terlatih mempergunakan instrumen ini, biasa disebut dengan mereka yang melakukan pendekatan secara intuitif.
Kebenaran yang bisa dihasilkan oleh panca indera, terbatas oleh daya jangkaunya...ia hanya bisa menentukan kebenaran pada lapisan paling luar dari sebuah fenomena (yaitu sejauh yang bisa dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan seterusnya).
Sementara kebenaran rasional, tergantung dari sejauh mana seseorang bisa menyelaraskan pikirannya dengan prinsip-prinsip rasional, yang antara lain dirumuskan oleh guru kaum rasional, yaitu Aristoteles, yang di kalangan Muslimin, diikuti dengan setia oleh Ibnu Rusyd dan kaum filsuf pengikutnya. Namun, sekalipun pendekatan ini sangat membantu umat manusia untuk bisa menyingkirkan berbagai mitologi yang menyesatkan, ia sesungguhnya tidak bisa "berbicara" tentang kebenaran yang berada di balik hijab fenomena..selain hanya bisa menduga-duga (berspekulasi).
Menyangkut hal-hal yang tidak bisa dicerna oleh pancaindera dan hanya bisa diduga-duga oleh akal/rasio, berperanlah hati nurani, atau ain al-basyirah (matahati). Ialah sumber dari Kebenaran...dalam rumusan Imam Al Ghozali, ia disebut juga dengan dzauq. Dan sesungguhnya, hatinurani tidak pernah salah...matahati tidak pernah keliru...karena ia merupakan manifestasi dari Al-Haqq itu sendiri.
Namun, hanya sedikit mereka yang bisa berpegang atau berhubungan dengan hati nuraninya..yaitu hanya mereka yang mau bersikap jujur dan telah terbiasa menundukkan hawanafsu mereka, sehingga sang jiwa bisa menjadi bening, dan cahaya nuranipun bisa menyembul.
Berdasarkan paparan di atas, apa yang disebut dengan wahyu, adalah “buah” dari relasi seorang Muhammad dengan Sukma Sejati atau Ruh Al-Quds di dalam dirinya, melalui pintu gerbang hati nurani atau ayn al-basyirahnya. Dan itu bisa terjadi, setelah Nabi Muhammad bertahanutsdi Gua Hira…dan tahanuts ini, hakikatnya adalah proses pensucian jiwa, pembeningan diri dari segala ilusi pikiran dan panca indera.
Wahyu yang diterima Nabi Muhammad, bagi Muhammad sendiri, adalah sebuah “Kebenaran Mutlak”….karena itulah bimbingan Ilahi kepadanya. Kebenaran mutlak ini, tentu saja hanya Nabi Muhammad sendiri yang memahaminya secara utuh…karena itu memang merupakan hasil dari pengalaman bathinnya.
Pertanyaanya, ketika wahyu yang semula ada di dalam hati seorang Nabi Muhammad itu disampaikan kepada manusia lainnya….apakah tingkat kebenarannya masih setara dengan yang semula dipahami hanya oleh Nabi Muhammad sendiri? Begini maksud saya….ketika Nabi berbicara tentang surga, tentang neraka, tentang malaikat, tentang Allah, apakah yang kemudian tertuturkan melalui lisan sang Nabi itu, benar-benar merepresentasikan kebenaran yang sebetulnya muncul secara intuitif di dalam dirinya?
Lalu, ketika ada yang mendengar wahyu yang tertuturkan itu….apakah otomatis, ia bisa memaknainya persis sama dengan yang dimaknai sang nabi?
Pada titik inilah, kita harus jujur, bahwa wahyu yang pada diri nabi merupakan sebuah kebenaran intuitif yang mutlak nilai kebenarannya, bagi diri kita, telah “turun” derajatnya menjadi sekadar “dilalah” (petunjuk) atau “ayat” (tanda-tanda) terhadap Kebenaran itu sendiri. Nah, ketika kita coba memaknainya, tingkat kebenaran yang bisa kita hasilkan, sungguh tergantung dari pendekatan yang kita lakukan.
Sejauh manusia hanya menggunakan tradisi tafsir konvensional, maka pendekatan yang dilakukan tak lebih dari pendekatan empirik (atau lebih bertumpu pada pancaindera). Pada titik ini, yang dipentingkan adalah soal sanad atau kesahihan riwayat…untuk memastikan bahwa kata-kata yang didengar oleh seseorang itu adalah benar-benar telah ada yang mengatakannya. Nah, pemaknaan yang biasa dilakukan oleh seorang Muslim terhadap wahyu, biasanya memang berupa “katanya…” yang diwariskan secara turun temurun, dari generasi ke generasi…..Misalkan…menyangkut ayat tentang surga dan neraka..maka makna dari kata-kata itu yang kemudian diyakini sebagai kebenaran, pada faktanya adalah “makna” yang ditangkap seseorang pada masa lalu (entah sahabat, atau ulama, atau siapapun) yang kemudian disampaikan lewat sanad atau periwayatan tertentu..hingga sampai pada kita sekarang. Sesungguhnya, dengan pendekatan ini, kita tak bisa menangkap kebenaran yang hakiki, karena kita hanya tahu “katanya” tanpa kita sendiri pernah memverifikasinya.
Nah, jika kita mempergunakan pendekatan rasional, wahyu itu akan dimaknai sedemikian rupa, sehingga munculllah ta’wil rasional yang bisa jadi berbeda dengan apa yang diyakini kebanyakan umat yang masih berpegang pada “kata-kata orang terdahulu”…Maka, misalnya, muncullah pemahaman bahwa neraka itu tak lebih dari keadaan penuh penderitaan yang sebetulnya sudah ada pada saat ini, demikian pula surga sebagai keadaan bahagia yang juga sudah dirasakan pada saat ini…
Jika kita mempergunakan pendekatan empirik..jelas kita mudah untuk tersesat...karena pertama, pendekatan ini hanya mengantarkan kita mengenali kebenaran pada lapisan permukaan, dan kedua, tafsir kita terhadap apa yang kita dengar dan kita lihat bisa saja disimpangkan oleh hawa nafsu sendiri. Demikian juga jika kita mempergunakan rasio kita...kita bisa mudah tergelincir, ketika rasio kita dipengaruhi oleh syahwat kita (sehingga ada istilah satu kepala satu pikiran, lain kepada lain pikiran..ini adalah pikiran yang sudah dipengaruhi ego sehingga setiap orang bisa berpikir berbeda).
Di luar itu…ada juga pihak yang mencoba masuk ke dalam relung bathin mereka, berdialog dengan hati nurani bahkan ruhul quds yang ada di dalam diri mereka.. Dalam hal memaknai sebuah ayat atau sekalimat wahyu…..mereka juga mempergunakan metode yang dipergunakan oleh Nabi Muhammad sendiri dalam “memproduksi” wahyu…Maka, makna yang didapat sebetulnya identik dengan wahyu itu sendiri….Hanya, dalam tradisi Islam, ia dihaluskan menjadi sekadar ilham (padahal hakikatnya dan sumbernya sama dengan wahyu).
Pertanyaannya, apakah hanya mereka yang ber-KTP Islam yang bisa berdialog dengan ruh al-quds atau sukma sejatinya? Pada faktanya, jelas semua orang bisa melakukannya, apapun agama yang tertera di KTP-nya. Jalan untuk sampai pada titik inilah yang dalam khazanah agama timur disebut dengan meditasi. Dalam khazanah kebudayaan Jawa ia disebut dengan semedi + laku prihatin.
Walaupun berbeda-beda wujud lahiriahnya, sebetulnya meditasi yang dilakukan oleh orang dari berbagai tradisi keagamaan dan spritual memiliki kesamaan prinsip: Pertama, ia adalah kegiatan untuk memasuki alam hening, untuk bisa bertemu dengan Sang Guru Sejati di dalam diri; Kedua, meditasi itu harus juga mewujud dalam kehidupan sehari-hari..sehingga hidup dan perilaku kita sendiri sudah merupakan meditasi (karena selalu dilandasi oleh kesadaran akan kehadiran-Nya, atau meminjam istilah Jawa, karena selalu dilandasi sikap eling lan waspada…kalau orang Islam menyebutnya, selalu berdzikir…).
Siapapun yang menjalankan prinsip-prinsip di atas, pasti ia akan sampai pada kebenaran..ia akan menerima “wahyu” yang hakikatnya adalah “Cahaya Ilahi” yang disinarkan kepada hati manusia! Maka, kita bisa menyaksikan, para spiritualis dari berbagai agama, maupun yang berbeda agama, bisa berdampingan secara harmoni..dan bahasanya saling selaras..karena mereka telah sama-sama ada dalam Limpahan Cahaya-Nya.
Begitu yang bisa saya jelaskan…Salam!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Post a Comment