Gusti Ingkang
Welas Hasih sarta Handeg Wikan lan Waskita. Huga Gusti wus maringi pangerten marang jalma tumitah
Djowo, lan jalma tumitah liyane, kang hana hing
karasuh kiye. Tumindako kang trep marang sakpadha-padhaning hurip, huga
tumindako kang walaka marang Gusti ,
nganggo rasa kang hana hing raga sira. Semono huga Gusti bakal piwaneh piwales, marang hapa kang sira
lakoni hing Baka Mulya kene, huga hing Karasuh Moporoso mengkone.
Gusti Yang Maha Pengasih dan Maha Bijaksana. Juga Gusti yang memberi
pengertian kepada orang Jawa, dan manusia lain yang ada di jagad ini. Bertindaklah secara tepat kepada sesama yang
hidup, juga bertindaklah jujur kepada Gusti, menggunakan rasa yang ada di ragamu. Demikian juga Gusti, akan memberikan balasan, terhadap apa yang kamu lakukan
di bumi ini, juga di jagad langgeng kelak.
Sengkala kang hana hing
baka mulya, Hulun kabeh kang nandang.
Huga marang bebendhu Gusti, yen Hulun wus bali.
Sengkala yang datang di bumi ini, hulun semua yang
menanggung. Juga terhadap buah perbuatan
yang ditetapkan Gusti, ketika hulun kembali.
Apakah
surga dan neraka sebagai tempat memberi ganjaran dan hukuman bagi manusia
sungguh-sungguh ada? Penulis hendak
mengulas perkara ini baik dengan merujuk kepada kesadaran para leluhur
Nusantara yang tertuang di dalam Layang Djojobojo (Layang Nata) maupun
berdasarkan kesadaran pribadi setelah menekuni meditasi secara intensif.
Layang
Djojobojo (Layang Nata) secara gamblang menjelaskan kemungkinan manusia
memperoleh bebendhu atau sengkala. Bebendhu
ini adalah buah perbuatan yang mendatangkan penderitaan. Sementara sengkala
adalah kesulitan hidup, yang tentunya juga mendatangkan penderitaan. Bebendhu
maupun sengkala ini bisa datang saat
manusia hidup di bumi ini, maupun kelak ketika manusia memasuki kehidupan pasca
“kematian”.
Namun,
Layang Djojobojo (Layang Nata) itu juga menegaskan bahwa karakter dasar Tuhan
adalah Maha Pengasih dan Maha Pengampun.
Tidak ada ungkapan bahwa Tuhan adalah Maha Penghukum. Juga tidak ada ungkapan bahwa Tuhan merupakan
Keberadaan yang bisa murka dan benci kepada manusia.
Maka,
kita perlu mengembangkan pengertian yang tepat mengenai adanya bebendhu dan sengkala bagi manusia, dikaitkan dengan watak dasar Tuhan yang Maha
Pengasih dan Maha Pengampun.
Sesungguhnya,
bebendhu atau sengkala memang bukan manifestasi dari karakter Tuhan sebagai
penghukum, pemurka dan pembenci. Tapi
itu adalah bagian dari hukum kesemestaan yang di dalamnya berisi
kausalitas. Bahwa setiap tindakan
memiliki resiko atau konsekuensi logis tersendiri.
Manusia
dianugerahi free will, maka dengan
itu, manusia bebas melakukan tindakan apapun sesuai kapasitas yang
dimilikinya. Namun manusia tidak bisa
membebaskan diri dari hukum semesta yang menaunginya. Jika seseorang melakukan sebuah tindakan, ia
mau tak mau pasti menanggung resiko logis dari tindakan tersebut.
Jika
seseorang teledor di jalan raya, ia bisa mengalami kecelakaan lalu lintas. Dan dengan kecelakaan itu ia bisa menderita
luka ringan, luka berat bahkan meninggal dunia.
Apa yang terjadi pada orang yang teledor ini bukanlah hukuman dari
Tuhan. Tapi itu adalah konsekuensi logis
dari keteledorannya di tempat yang penuh resiko.
Pada
situasi yang lebih kompleks, setiap pribadi memiliki cetak biru
masing-masing. Saat yang sama, setiap
pribadi juga senantiasa mendapatkan pesan Tuhan yang muncul dari pusat hatinya. Nah, saat seseorang hidup tidak selaras
dengan cetak birunya, sekaligus mengabaikan pesan-pesan Tuhan itu, tentu saja
ada resiko logis yang niscaya ditanggung.
Kehidupan yang penuh kesulitan dan penderitaan, adalah keadaan yang
pasti dialami.
Demikian
juga ketika seseorang yang hendak memasuki gerbang kematian justru tetap berada
dalam ketidaksadaran, resiko logis itu pasti ditanggung ketika sang sukma sudah
berpisah dari raganya. Sang sukma akan
berada pada keadaan jiwa yang penuh derita, karena tertahan di atmosfer bumi dan
tidak bisa mencapai dimensi atau terminal penantian yang menyamankan.
Nah,
keadaan yang serba sulit dan membawa penderitaan seperti inilah sejatinya yang
bisa dinyatakan sebagai neraka. Dan
neraka dalam pengertian demikian, bisa dialami oleh seseorang baik selama hidup
di bumi ini maupun ketika sukmanya telah berpisah dari raganya. Dan keadaan seperti ini adalah buah dari
perbuatan manusia yang memang memiliki free
will. Itu bukan bentuk penghukuman
dari Tuhan, melainkan hanya resiko logis dari pilihan manusia sendiri.
Sebaliknya,
tindakan-tindakan yang serba tepat, yang selaras dengan cetak biru kehidupan
dan pesan-pesan Tuhan yang muncul dari pusat hati, niscaya mendatangkan
kehidupan yang membahagiakan. Demikian
pula jika kita berbicara tentang kehidupan setelah sukma berpisah dengan
raga. Jika seseorang memang melepaskan
nafas terakhirnya dengan jiwa memenuhi standar kejernihan dan kesadaran minimal,
adalah kepastian bahwa sukmanya tidak akan tertahan di dimensi yang tidak
menyamankan. Setidaknya ia akan langsung
berada di terminal penantian yang menyamankan sebelum memasuki kehidupan baru
dengan raga baru. Dan inilah yang bisa
dinyatakan sebagai surga.
Jadi,
neraka sebagai tempat penghukuman Tuhan yang berisi siksaan yang menyakitkan,
atau surga sebagai tempat Tuhan memberikan ganjaran berupa
kesenangan-kesenangan ragawi, tidaklah ada.
Neraka yang sesungguhnya adalah keadaan dukacita, yang menyesakkan jiwa,
sebagai buah perbuatan yang keliru, tidak selaras dengan cetak biru dan
pesan-pesan Tuhan dari pusat hati.
Sementara surga yang sesungguhnya adalah keadaan-keadaan penuh
kenyamanan dan merupakan konsekuensi logis dari perbuatan manusia yang selaras
dengan cetak biru dan pesan-pesan Tuhan dari pusat hatinya.
Tentu
saja, surga dan neraka yang demikian tidaklah langgeng. Itu hanya keadaan temporer yang sewaktu-waktu
berubah. Neraka yang dialami selama
manusia masih hidup di bumi dan memiliki raga, bisa dilampaui ketika manusia
mengubah perilakunya dan memasuki naungan Kasih Murni dari Tuhan. Sementara surga berupa kenyamanan hidup di
bumi juga bisa begitu saja sirna ketika manusia kehilangan kesadaran dan
kewaspadaannya. Kemudian, neraka yang
dialami sukma setelah berpisah dari raga, bisa usai jika sukma tersebut mendapatkan
pertolongan dari manusia berkesadaran dan disempurnakan hingga terangkat ke
terminal penantian terdekat yang menyamankan.
Dan surga yang dinikmati sang sukma yang telah berpisah dari raga juga
bukan perhentian pamungkas. Sukma
tersebut masih bisa
terus berjalan dan menjalani kehidupan baru dengan tingkat kesukacitaan yang
lebih utuh dan sempurna.
Setuju
ReplyDeletejadi jangan bilang surga atau neraka tidak ada...
ReplyDeleteDemikian juga Gusti, akan memberikan balasan, terhadap apa yang kamu lakukan di bumi ini, juga dijagad langgeng kelak....
Anda betul kang
ReplyDelete